Hal yang sama juga terjadi antara Indonesia dan Rusia. Meski dalam unfriend list (daftar negara yang tidak dianggap teman bagi Rusia sebagai imbas kasus Ukraina) yang dikeluarkan pemerintah Rusia tidak ada nama Indonesia, nilai investasi Rusia di Indonesia justru tergolong rendah. Jika investasi Cina di Indonesia mencapai 3 Milyar USD, investasi Rusia bisa dibilang sangat kecil.
Dalam satu dekade terakhir investasi Rusia di Indonesia hanya berkisar “jutaan” USD. Pada tahun 2021 investasi itu mencapai angka tertinggi pada nominal 23.2 Juta USD. Dimana angka itu sangat jauh bila dibandingkan dengan investasi negara maju lain seperti Hongkong, Amerika, dan Jepang. Sebaliknya, negara penyumbang investasi besar di Indonesia adalah negara-negara yang termasuk dalam unfriend list pemerintah Rusia.
Sebagai negara yang dikenal tidak memihak pada blok manapun, sesungguhnya Indonesia bisa disebut sebagai salah satu negara terkuat sebagai kandidat calon anggota BRICS. Masyarakat Indonesia yang beragam juga bisa menjadi sebuah representatif pendekatan multikultural yang senantiasa digaungkan oleh BRICS. Meski demikian, Indonesia sebagai sebuah negara berkembang juga memiliki nilai tawar lain yang juga menjadi magnet bagi organisasi internasional lainnya.
Di antara semua negara anggota G20, potensi sumber daya Indonesia bisa dibilang sebagai salah satu negara dengan potensi alam yang paling komplit jika dibandingkan dengan kebutuhan produksi maupun produk jadi sebagai komoditas pada perdagangan internasional saat ini. Namun belum maksimalnya kemampuan kita dalam mengolah bahan mentah sampai pada produk jadi siap pakai, senantiasa menjadi kendala utama dalam membuat Indonesia semakin terlihat jadi primadona di antara negara-negara berbagai belahan dunia.
Menjadi pelopor Gerakan Non-Blok juga sejatinya membuat Indonesia berada pada posisi yang sulit jika ingin bergabung dengan BRICS. Kesulitan itu terjadi karena sejak awal Indonesia memberikan sikap bahwa Indonesia tidak memihak pada haluan sosial dan politik manapun secara internasional. Atas kondisi itu Indonesia kemudian memilih untuk menjadi pihak yang bebas dari kepentingan Haluan internasional manapun.
Buruknya, situasi itu membuat Indonesia tidak bisa berbuat banyak kecuali pemerintah Indonesia berani mengambil langkah-langkah “tidak biasa” dalam menghadapi stigma internasional tentang Indonesia. Jika Indonesia menyatakan sikap tegas dengan memilih “bergabung dengan BRICS” tidak menutup kemungkinan bahwa negara-negara “Barat” akan berasumsi bahwa Indonesia sudah menyatakan sikap soal haluan politiknya secara internasional akan condong ke Rusia dan Cina. Sehingga mau tidak mau, akan ada perubahan pada iklim investasi di Indonesia khususnya negara investor yang berhaluan Barat.
Demikian halnya jika Indonesia menyatakan untuk tidak bergabung dengan BRICS. Maka akan muncul stigma internasional yang sama bahwa Indonesia secara tidak langsung memilih bergabung pada haluan politik internasional Barat. Lagi-lagi akan muncul peruhahan vibes pada negara-negara yang menjadi mitra investasi Indonesia, khususnya Cina yang menjadi investor kedua terbesar di Indonesia.
Baca juga: BRICS: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia (I)
Posisi terbaik bagi Indonesia
Kalau kita sepakat untuk memilih salah satu antara bergabung dan tidak bergabung, Indonesia sebenarnya tidak serta-merta menjadi sasaran asumsi internasional. Saat Indonesia kemudian memilih sikap di antara keduanya, posisi Indonesia sebenarnya berada pada nilai tawar yang cukup kuat. Indonesia punya modal potensi alam dan keberagaman masyarakat yang belum tentu dimiliki oleh negara lainnya baik pada haluan Barat ataupun Timur.
Keberadaan Indonesia yang menjadi anggota ASEAN, G20 (bahkan menjadi tuan rumah pada 2022), APEC, OPEC, PBB, ADB, dan masih ada lagi, sebenarnya menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang bebas pilih tanpa terlalu ambil pusing soal asumsi internasional. Keberadaan Indonesia pada berbagai aliansi internasional sebenarnya sudah menjadi bukti bahwa negara ini juga punya kemampuan “bargaining” yang tinggi pada berbagai organisasi internasional, yang dibarengi dengan potensi alam yang saat ini menjadi komoditas utama berbagai negara di dunia.