Mohon tunggu...
Zen Siboro
Zen Siboro Mohon Tunggu... Freelancer - samosirbangga

Terkadang suka membaca dan menulis. Pencumbu Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Bantuan Sosial Selama Pandemi: Citra Pemimpin dan Psikologi Pemilih

29 Mei 2020   18:15 Diperbarui: 29 Mei 2020   18:17 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum tentu kita sepakat bahwa dalam proses pilkada maupun pemilu lainnya, masyarakat akan memilih calon yang memang memberikan keuntungan. Baik secara individu maupun kelompok, juga secara kekerabatan dan status sosial. Pertimbangan tersebut tentu dengan mudah kita pahami dengan istilah "rational choice theory".

Dalam keadaan keterbatasan sosial saat ini, teori tersebut bisa saja semakin menjadi patokan utama bagi masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya kelak. Namun teori tersebut mungkin saja akan mengalami pergeseran makna dengan keadaan saat ini. Dimana titik pertimbangan masyarakat bukan lagi sekedar pada visi dan misi, namun "mungkin" akan lebih condong kepada apa, berapa, dan cara apa bantuan yang mereka terima saat ini.

Situasi Pandemi saat ini juga akan membuat bantuan tersebut menjadi lebih bernilai, yang juga mungkin membuat nama dan tindakan si calon akan "membekas" di hati pemilih. Sementara bagi mereka yang menerima bantuan tersebut tentu tidak akan merasa terikat pada si calon. Melihat bahwa hari ini tindakan tersebut dipandang lebih kepada bantuan kemanusiaan tanpa memandang adanya deal politik di dalamnya.

Pandangan umum bantuan sosial

Kalau kita memandang tindakan ini bukan sebagai aksi kemanusiaan, tentu saja tidak sulit bagi kita untuk menjustifikasi hal tersebut sebagai bagian dari kampanye sebelum waktunya. Namun Pandemi seolah menjadi sebuah legalitas abstrak. Instansi resmi seperti KPU atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tentu tidak bisa memandang situasi ini sebagai hal yang menyalahi aturan atas nama humanity. Lagi pula proses pencalonan resmi juga belum berlangsung.

Dalam situasi ini masyarakat, KPU, dan calon kepala daerah seolah memiliki kacamata yang sama. Dimana hari ini bantuan yang diberikan tersebut bukanlah bagian dari kampanye terselubung. Namun sebagai wujud rasa solidaritas antar warga negara untuk saling membantu satu sama lain.

Situasi inilah yang pada akhirnya menjadi manuver politik baru bagi beberapa calon kepala daerah. Menjadikan Pandemi sebagai wadah menabung pahala sekaligus menjadi media untuk membangun citra di masyarakat. Baik secara materi maupun sebagai secara kepribadian.

Bagi masyarakat juga tidak jauh berbeda. Bantuan tersebut dapat diterima tanpa menjadi sebuah ikatan politik. Pun juga dapat diterima dengan free political brand si pemberi. Murni sebagai bantuan kemanusiaan dalam meringankan beban.

Pada akhirnya nanti semua pilihan akan kembali kepada kita. Apakah kelak kita akan tetap menjadikan visi dan misi sebagai patokan utama dalam menentukan pilihan politik? Atau lebih menjadikan bantuan hari ini sebagai patokan utama yang harus diakui pula sebagai tindakan mulia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun