Mohon tunggu...
Zeni Nurhapsari
Zeni Nurhapsari Mohon Tunggu... -

im nothing without Allah SWT. im nothing. without my beloved Rasulullah. im nothing without my lovely ♥ family. im nothing without my friends. and so,, im nothing without SPIRIT OF LIFE!.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di atas Sajadah Cinta-Mu

16 Juli 2012   10:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:54 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1342433904737671574

Bismillahirohmanirrohim.. ini cerpen jadul sayaa,,hehe silahkan kritik dan saran temen temen di tunggu d coment atau d twitter (@zenichan_n) ; fb (Zeni Nurhapsari) ; email (zenichan.n@gmail.com) jazakallah khairan katsiran :)

Sinar rembulan terangi dingin malam. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk tenangkan jiwa. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota masih terasa. Di serambi masjid terlihat seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya

memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Abdullah”.Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid,untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota itu. Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci. Seketika pemuda itu menunduk dan meneteskan air mata,

Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata “Ayah, putri kita sudah menginjak dewasa. Dengarkanlah baik-baik syairsyair yang ia dendangkan.”

“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir Dia melamar Syafira anak kita untuk anaknya Yasir.”

“Lalu? Apa kau terima lamaran itu….atau?”

“Ya jelas lanngsung aku terima, Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Syafira dulu?”

“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Syafira anak kita  adalah Yasir.

“Tapi, kau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Syafira, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah gedung mewah, Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.

“Be…benarkah?”

“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini,Yasir!”

“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,

“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”

Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***

Keesokan harinya. Usai shalat dhuha, Abdullah meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.

Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit. Abdullah berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Syafira. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar itu Abdullah tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,

“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Abdullah mendekati perempuan itu dan menyapanya,

Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Abdullah. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,

Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”

“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Abdullah. Menyadari hal itu Abdullah menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Abdullah ia membuka cadarnya. Dantampaklah wajah cantik nan memesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”

Abdullah mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Abdullah, sementara gemuruh hati Abdullah tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Abdullah tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Abdullah, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”

“Jadi, kaukah Abdullah yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Abdullah yang lain.” kata Abdullah sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.

“Tunggu dulu Tuan Abdullah! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”

“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Abdullah. Terang saja Abdullah gelagapan.

Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Syafira. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.” Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.

“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”

Terpaksa Abdullah menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Abdullah melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Syafira terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Abdullah bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Abdullah semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Abdullah. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Abdullah. Tiba-tiba ia tersenyum, “Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.” Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***

Sementara itu di dalam masjid biasa Abdullah bersujud berserah diri, ia menangis di sebelah kanan mamba. Ia menangisi kehilangan kekhusyuan nya dalam sholat.Ia tidak tau harus berbuat apa,hatinya gundah mendalam.Sejak ia bertemu Syafira di kebun kurma tadi pagi ia tidak dapat mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikkan Syafira mengganggu konsentrasinya dan mengakar semakin kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu slalumelintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Syafira denganmelakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku hawa kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Abdullah mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta. Abdullah terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Syafira. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan. Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!” Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,

“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Syafira pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Abdullah berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Syafira. Hatinya mantap untuk melamarnya.

Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Syafira. Mereka sangat senang dengan kunjungan Abdullah yang sudah terkenal ketakwaannya di seluruh penjuru kota. Syafira keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Abdullah dengan ayahnya. Abdullah mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Syafira. Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Syafira menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Abdullah menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Syafira,

“Anakku, kau datang terlambat. Maafkan aku, Syafira sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”

“Mendengar itu Abdullah hanya bisa menganggukkan kepala, Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Syafira, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Abdullah kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Abdullah ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Syafira. Apa yang ia dengar dari ayah Syafira membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Syafira,

Kabar tentang derita yang dialami Abdullah ini tersebar ke seluruh sudut kota. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Syafira. Rasa cinta Syafira yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,

Kepada Abdullah,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.

Abdullah,

Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam

Syafira

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Abdullah. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Abdullah saat itu juga. Hari itu juga surat Syafira sampai ke tangan Abdullah. Dengan hati berbunga-bunga Abdullah menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Syafira :

Kepada Syafira,

Asalamualaikum,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah sematamata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.

Syafira,Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya : “Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan lakilaki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanitawanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”

Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.

Syafira,Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,

Abdullah,

Begitu membaca jawaban Abdullah itu Syafira menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Abdullah itu telah mengubah jalan hidupnya. Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Abdullah ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Abdullah di masjid. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT. Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Abdullah menerima sepucuk surat dari Syafira :

Kepada Abdullah,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,

Syafira

Seketika itu Abdullah bersujud syukur, terjawab sudah kesabarannya menanti. Hatinya berbunga-bunga tiada tara. Bibirnya tak henti-henti mengucapkan hamdalah.

[caption id="attachment_200776" align="alignnone" width="500" caption="di atas sajadah cinta-MU"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun