Selain memiliki hobi merawat burung di siang hari, Pak Pardi memiliki hobi lain di malam hari. Yaitu bermain tet tettan, atau bingo. Permainan ini sepenuhnya berdasarkan keberuntungan. Permainan dimulai ketika sang bandar menyembutkan masing-masing angka, dan pemenang akan muncul ketika deretan angka acak dalam kartu di tangannya membentuk satu garis lurus. Dalam setiap permainan, para pemain berkewajiban menyetor uang Rp5.000, dan besaran hadiah tergantung jumlah pemain dalam satu putaran.
Sebetulnya, uang ini tak seberapa bila dibandingkan dengan penghasilan ternak burung Pak Pardi. Tapi apa mau dikata, sensasi memenangkan permainan ini menciptakan sebuah candu. Setiap malamnya, Pak Pardi berpamitan untuk pergi ke warung kopi bersama teman-temannya, Bu Pardi selalu memberi ijin kalau suaminya pergi, asalkan pulang-pulang tidak membawa istri baru.
"Ah, baiknya istriku, selalu tau apa maunya aku, apalagi sejak aku berlangganan sambungan internet di rumah, pasti istriku betah di depan layar computer berkunjung ke halaman media sosial teman-temannya." Pikir Pak Pardi ketika keluar dari rumahnya.
Tempat biasa untuk bermain tet tettan sudah ramai, beberapa orang sedang serius mendengarkan siaran dari sang bandar, dan mencocokkan nomornya. Pak Pardi memilih kartu yang akan dipegangnya, sebagai tumpuan malam ini. Tadi sore ketika berkunjung ke rumah Mbah Kadi, Pak Pardi mendapat wejangan untuk menghadap sama dengan ayam yang sedang mengerami telurnya ketika bermain tet tettan, ini menjadi patokan agar beruntung. Pak Pardi lantas pergi ke kandang ayam miliknya, dilihatnya sang indung sedang menghadap ke barat ketika mengerami telurnya.
Pak Pardi kini menghadap ke barat, sesuai sang ayam menghadap. Uang Rp50.000 sudah Pak Pardi tukarkan dengan Rp10.000 supaya mudah ketika melakukan bayaran awal permainan. Pak Pardi biasanya bermain dengan awalan Rp5.000, kali ini meningkatkannya dua kali lipat, yakin bahwa akan menang besar.
"Ahaai, udah ceki 2 kartu, satu nomor lagi bakal tembus nih." Seru Pak Pardi ketika kotak-kotak angka miliknya hampir membentuk satu garis lurus. Ceki tinggalah ceki, tak ada artinya jika ceki tidak menjadi kemenangan. Dewi fortuna tak menghampiri Pak Pardi, sudah 5 kali permainan, dan Pak Pardi selalu ceki, tapi tidak pernah berhasil menyelesaikan garis dalam kartu bingonya.
Semakin larut Pak Pardi semakin banyak menghabiskan pundi-pundi rupiahnya, dua lembar Rp100.000 sudah Pak Pardi tambahkan, tapi belum juga menang. "Ayam tadi menghadap ke barat, aku sekarang juga menghadap ke barat, terus apa yang salah?" batin Pak Pardi.
Setelah seluruh uang dalam sakunya habis, Pak Pardi memutuskan untuk pulang. Diceknya kembali posisi ayam yang sedang mengerami telur di kandang. Pak Pardi kaget karena tidak menemukan ayamnya yang sedang mengerami telur tadi. ketika itu juga bu Pardi keluar dari rumah melihat suaminya.
"Nyariin apa Pak?"
"Ini lho Buk, Bapak nyari ayam yang tadi pagi bertelur, kayanya bapak tadi lihat disini, tapi kok sekarng sudah ga ada Buk?"
"Oh ayam itu Pak? Tadi pas Bapak keluar, Ibu iseng pengen nyoba telur ayam jawa Pak, makanya Ibu tadi ambil telurnya, tuh sekarang ayamnya lagi di dalam kandang." Jawab Bu Pardi.
"Mampus." Hanya kata itu yang terucap, sembari meneput dahinya sendiri.
"Ya udah Buk, ayo kita potong saja ayamnya ini, Bapak lagi pengen makan daging ayam kampung."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H