Di sudut kota yang sering dilupakan, terdapat sebuah taman kecil dengan bangku-bangku kayu yang lapuk oleh waktu. Pepohonan rindang menaungi area itu, memberikan rasa teduh bagi siapa saja yang mencari ketenangan. Di sana, di tengah kesunyian, duduklah seorang pria tua dengan topi fedora coklat yang usang.
Namanya Pak Arman. Setiap sore, ketika jarum jam menunjukkan pukul empat, Pak Arman selalu datang ke taman itu. Tak pernah absen, seolah ada sesuatu yang menuntunnya untuk kembali. Di tangannya, selalu ada sebuah buku catatan berwarna coklat muda, yang terlihat hampir setua dirinya.
Hari itu, langit mendung. Awan-awan gelap menggantung rendah, seakan siap menumpahkan beban airnya kapan saja. Pak Arman membuka buku catatannya, lalu mulai menulis. Setiap kata yang ditulisnya mengalir seperti air, penuh dengan emosi dan kenangan yang terpendam.
"Dear Laila," tulisnya. "Sudah lama kita tidak bertemu di taman ini. Setiap tetes hujan yang turun mengingatkan aku padamu, pada senyummu yang selalu bisa meneduhkan hatiku, pada tawa kita di bawah rindangnya pohon-pohon ini. Aku masih ingat saat kau berkata bahwa setiap hujan membawa cerita, dan kita hanya perlu mendengarnya."
Pak Arman berhenti menulis sejenak, menatap ke arah pohon beringin tua yang berdiri kokoh di tengah taman. Dahulu, di bawah pohon itu, ia dan Laila sering duduk bersama, berbagi mimpi dan cerita. Laila adalah cinta pertama dan satu-satunya dalam hidup Pak Arman. Mereka bertemu di taman itu lebih dari lima puluh tahun yang lalu, saat taman tersebut masih baru dan penuh dengan kehidupan.
Namun, takdir berkata lain. Laila pergi meninggalkannya lebih cepat dari yang diharapkan. Sejak hari itu, taman kecil ini menjadi satu-satunya tempat di mana Pak Arman bisa merasa dekat dengan kenangan manis bersama Laila. Setiap sore, ia datang untuk menulis surat kepada Laila, seolah-olah wanita itu masih ada di sampingnya, mendengarkan setiap kata yang ia ucapkan.
Hujan mulai turun, rintik-rintik kecil menyentuh tanah, membawa aroma segar yang khas. Pak Arman menutup bukunya, merasakan tetesan air hujan yang perlahan membasahi wajahnya. Dengan tenang, ia menyandarkan tubuhnya di bangku kayu itu, memejamkan mata dan membiarkan kenangan mengalir.
Sebuah suara lembut tiba-tiba terdengar, memecah keheningan. "Pak Arman, bolehkah saya duduk di sini?"
Pak Arman membuka matanya dan menoleh. Di sampingnya, berdiri seorang wanita muda dengan payung berwarna biru. Senyumnya hangat, mengingatkan Pak Arman pada Laila di masa muda. Ia mengangguk pelan, memberi isyarat agar wanita itu duduk.
"Terima kasih," kata wanita itu sambil duduk. "Saya sering melihat Bapak di sini. Bapak selalu menulis sesuatu, apa itu?"
Pak Arman tersenyum tipis, matanya menyiratkan kerinduan. "Ini adalah surat untuk seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya," jawabnya pelan. "Dia sudah pergi, tapi saya selalu merasa dia ada di sini, di taman ini."