Life is beautiful, own it! Demikian Pakubuwono Spring, kompleks apartemen mewah di Selatan Jakarta, merayu para pengguna jalan dengan ketebalan kantong beragam. Kandungan pesannya sederhana: bila ingin hidup indah di Jakarta, Anda mesti punya uang banyak.
The elastic city for plastic people, adalah satu-satunya alternatif kota masa depan. Tak ada kemajuan jenis lain yang bebas pencakar langit atau bebas dari jalan-jalan bebas hambatan. Ketiadaan visi ini mewujud pada sekadar aksi yang ditawarkan oleh figur gemerlap seperti Ahok. Aksi yang “sangat realistis” dan menggoda: siapa yang mau hidup berdampingan dengan orang-orang kumuh dan ‘tak tahu aturan?’ Masyarakat kota hari ini tak memiliki memori radikal yang dapat menyumbang visi esok hari.
Tetapi, bagaimana mungkin menganggap Ahok bukan solusi sementara kita tidak punya alternatif pengganti?
Kita memang sedang krisis stok figur-figur yang sanggup membawa seluruh persoalan rakyat biasa, yang kompleks ini, ke muka publik. Figur-figur yang berdiri paling depan membela kepentingan orang-orang dipinggirkan; bisa bicara satu bahasa dengan orang-orang disingkirkan; mengerti kesulitan hidup orang-orang bermasa depan runyam; berani mengambil resiko untuk membela orang-orang yang tak punya jaminan kehidupan. Dan figur-figur semacam itu mestilah figur yang progresif.
Ketika AS memiliki figur seperti Bernie Sanders dan Kshama Sawant bertarung di lajur-lajur elektoral, Indonesia hanya punya Ahok, sebelumnya Jokowi, dan di sebelahnya ada Ridwan Kamil. Ketika Kshama memperjuangkan agar “Seattle terjangkau bagi semua orang”, dan Bernie Sanders menyerukan bahwa: “Inilah gerakan kita, mereka punya uang tapi kita punya rakyat”; Ahok tidak muluk-muluk, hanya minta ditemani melalui KTP demi melanjutkan Jakarta Baru yang lebih “bersih, maju dan manusiawi.”
Tak sedikit yang makin ragu dengan Ahok, khususnya karena rangkaian penggusuran dan proyek reklamasi yang terus ia galakkan. Tetapi “kalau bukan Ahok siapa lagi?”
Gerakan sosial Indonesia bukannya tidak memiliki figur-figur progresif. Tetapi mereka belum bisa bicara mewakili seluruh persoalan orang-orang Jakarta. Politik gerakan Indonesia disegmentasi berbasis sektor, yang tidak serta merta saling tahu dan mengerti derita sektor lainnya, atau derita manusia-manusia ‘non sektor’, yang juga tertindas dan dirugikan dalam level yang beragam.
Kelas menengah dibuat pening dengan persoalan hak-hak konsumen, sementara kelas bawah dibuat marah dengan upah yang makin tak menjangkau harga kebutuhan hidup. Orang-orang kantoran dibuat pusing dengan rutinnya kemacetan, sementara orang-orang pabrikan dipaksa menyesuaikan diri dengan PHK perusahaan. Anak-anak muda tercerahkan dibuat kesal dengan gaya kepemimpinan elitis para pejabat, sementara yang menganggur di gang-gang jadi sasaran rekrut komunitas akhirat yang merasa paling benar.
Kita membutuhkan orang-orang progresif yang bisa kreatif bicara pada khalayak, bukan pada jajaran dan lingkungannya sendiri. Bisa memosisikan kritik dan atau kemarahan pada yang paling utama menghambat pengembangan kekuatan kolektif rakyat, bukan mengecilkan potensi penyatuannya. Kekurangan infrastruktur dalam politik riil itu banyak sekali, tetapi mengonsolidasikan kelebihannya jauh lebih penting untuk dipusingkan.
Mengakui masih banyaknya orang-orang yang terpikat gaya Ahok di Jakarta, tidak sama dengan menyerahkan kepemimpinan padanya; memegang prinsip bahwa Jakarta butuh pemimpin baru demi kota yang melayani dan melindungi sesama, berbeda dengan malas tahu dan ogah kompromi. Ukurannya bukan pada keharusan dan keinginan sendiri, tetapi peluang memajukan kekuatan kolektif.
Siapapun figur progresif bagian atau pendukung gerakan sosial yang berencana maju menandingi Ahok nanti, baik didukung secara organisasional maupun perorangan. Bukan untuk memenangkan pertempuran hari ini (baca: 2017), melainkan tabungan untuk pertempuran masa depan. Figur yang konsisten di garis massa (baca: bersuara, membela dan bersama derita mayoritas massa) dan piawai berbicara pada beragam jenis massa adalah harapan bagi perubahan.