Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendalami Papua: ‘Tong Terlalu Bikin Tong Pu Diri’

22 Maret 2016   16:11 Diperbarui: 22 Maret 2016   16:26 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau misterius nan kaya itu jadi tempat yang gampang menghasilkan uang jika bermental pekerja keras, berani berusaha dan/atau sedikit culas. Cukup bermain di selisih harga, bermodal sepeda motor, penjual mainan dari Toraja, Jawa atau Buton, atau Anda pun sudah bisa hidup lebih terencana dari kebanyakan orang pedalaman Papua. Dengan bekal kemampuan tradisi dan jaringan usaha, nelayan-nelayan Buton dan orang-orang perantaranya, sudah bisa menguasai pasar perikanan di Teluk Wondama. Mereka bisa menjual ikan jauh lebih murah dibanding penjaring-penjaring ikan tradisional Papua.

Kalau sudah punya lebih banyak modal, lebih berani culas, pandai menipu, punya kuasa senjata, ditambah banyak dosis kekejaman dan tega, maka orang-orang bisa gampang lebih kaya lagi. Orang-orang Papua tidak punya sertifikat hak milik pada tanah-tanah dan hutan yang mereka manfaatkan turun temurun dari nenek moyang secara kolektif. PT. Freeport pelopor perampasan tanah moyang tersebut, segera menyusul ratusan kontrak sawit dan pertambangan. Masih ingat rekening gendut Labora Sitorus? Tentu saja masih kalah gendut dengan rekening para raksasa sawityang sedang incar Papua, dan raja raksasa Freeport McMoran.

Kedatangan orang-orang bertampang melayu ke Papua mungkin hanya demi mata pencaharian—dimobilisasi maupun tidak dimobilisasi dalam transmigrasi. Namun kedatangan itu berdampak langsung pada menyempitnya wilayah ‘pencarian’ orang-orang Papua. Pendatang semakin dominan, penduduk asli semakin menyusut, pemerintah lokal tak punya langkah perlindungan yang efektif. Lapangan kerja yang ada bukan untuk orang-orang Papua—kecuali jadi PNS, tentara, polisi, dan sekuriti.

‘Sekarang orang-orang Jawa dan toraja tu su bisa pasang jerat lebih banyak dari kitorang. Mereka pasang enampuluh sampe, kitong lima saja’ seorang pemuda di kampung Simiey, Distrik Naikere, Teluk Wondama protes. Memasang jerat rusa sejumlah puluhan itu boleh jadi prestasi dari segi kemampuan, tetapi kejahatan dari segi kelestarian.

Jerat-jerat itu harus dicek maksimal tiga hari untuk melihat rusa atau babi yang mungkin terjerat. Bila jerat hanya lima, dan rusa yang didapat dua ekor, maka mereka masih bisa memangulnya pulang. Semakin banyak jerat, semakin peluang tangkapan besar, semakin banyak pula rusa yang dibiarkan membusuk karena tak bisa dipanggul pulang. Tak seperti babi yang bisa bertahan, rusa lebih cepat mati sia-sia.

Papua memang magis.

Setelah kembali hanya dari satu bulan perjalanan, saya menjadi makin sedih dalam pesona kemagisannya. Bila kita ‘mati di lumbung padi sendiri’, maka orang-orang Papua mati menyaksikan tanah-tanahnya menjadi ‘lumbung padi, emas dan minyak’. Mereka tidak pernah hanya ‘menonton drama lumbung’ ini, ratusan ribu nyawa melayang karena sudah melawannya. Dan dengan gampang negara hadir melabelinya sebagai gerakan separatis.

Selesai perkara.

‘Selamat mengalami Papua,’ demikian seorang kawan menyapa. Ya sista, sekarang ‘mengalami’ mesti dilanjutkan dengan ‘mendalami’. Mendalami alam, ingatan penderitaan, dan kekuatan orang-orang Papua yang sedang bertahan dan melawan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun