Papua memang magis. Saya termasuk yang terpesona dengan kemagisannya.
Dahulu waktu masih bernama Irian Jaya terdengar kurang magis. Apalagi berita-berita terkait Papua masih sedikit dan melulu soal kematian dan ketidakamanan. Walau sekarang beritanya lebih banyak, tetapi nadanya masih sama: ketidakamanan yang sebabnya dialamatkan ke gerakan separatis.
Tanpa tahu lanskap sejarah, wilayah dan budayanya, satu peristiwa penyerangan polsek dan penembakan pesawat di Sinak, Puncak Jaya, akan langsung dianggap sebagai teror di seluruh Papua. Mungkin serupa dengan drama tembak menembak ‘ISIS’ di Sarinah, yang segera dinyatakan sebagai Teror Jakarta dan Indonesia oleh media cetak dan elektronik populer. Betapa media-media di Indonesia ini terlalu banyak bikin gerakan tambahan dan bikin de pu diri, sampe.
Selain teror ketidakamanan, Papua juga mengandung ‘kengerian’ yang bikin ciut. ‘Jangan pergi ke Papua, nanti kau dimakan hidup-hidup’, demikian kata Ayah seorang mahasiswi unyu pengurus Senat di kampus Institut Ilmu Sosial Politik (IISIP) yang melarangnya berangkat liburan ke Papua setelah menonton film ‘Lost in Papua’. Oh iya, sepertinya saya harus titip pesan untuk Bapak Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan yang baru, agar pelajaran wawasan nusantara ditambah dengan pelajaran wawasan Kepapuaan.
Wawasan Kepapuan ini perlu, agar tidak lost (tipe lain) in Papua dalam eksotisme Raja Ampat, dan petualangan Puncak Cartenz.
‘Mbak, titip ikat pinggang kulit buaya ya, di Jakarta mahal, saya pernah beli online malah ketipu engga asli’, demikian SMS tetangga saya, yang akhirnya bisa masuk setelah HP bertemu sinyal dan listrik bisa menyala oleh satu liter bensin, Rp. 20.000 untuk dua jam. ‘Wah di Raja Ampat ya, mana fotomu di pulau-pulau batu itu?’, demikian pesanWhatsapp masuk saat sedang ngopi dan makan pisang goreng di sebuah rumah kecil yang dijadikan galeri kerajinan tangan dari limbah, di Waisai, Raja Ampat.
Raja Ampat yang dimaksud mungkin Wayag dan Pianemo. Hampir semua masyarakat asli yang tinggal tersebar di pulau-pulau Raja Ampat belum pernah mengunjunginya—apalagi saya. Untuk sampai ke sana, katanya, perlu 8-15 juta rupiah. Teman-teman yang saya kenal saja belum pernah bisa sampai sana.
Mungkin teman-teman saya ini terlampau cupu untuk kategori para traveler Jakarta, karena melulu sibuk urus advokasi konservasi Raja Ampatdan membangun sanggar-sanggar budaya masyarakat asli. Mereka ‘lebih suka’ ditangkap ketimbang foto-foto di Wayag dan Pianemo. Mereka memang keras, bersama masyarakat beberapa kampung, rencana penambangan nikel dan batubara Raja Ampat ditolak. Karena itu juga Raja Ampat kini bisa menjadi sorotan wisata utama.
Kalau bisa punya perahu boat yang layak, dan uang solar yang cukup, mungkin mereka bisa ke Wayag dan Pianemo. Sayangnya katinting pun hanya beberapa yang punya.
***
Papua dalam pikiran orang-orang di Jawa dan Sumatera, bisa jadi seluruh bagian Indonesia lainnya, hanya bermakna pulau misterius dan kaya, serta orang-orang yang terbelakang.