Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Untuk Orang-orang Papua: Pemilik Amungsa dan Nemangkawi

22 Maret 2016   07:59 Diperbarui: 22 Maret 2016   08:15 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

23 November 2015

Zely Ariane

MEWAKILI warga Indonesia, kami mesti minta maaf atas apa yang dibicarakan Setya Novanto, Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha R, di balik pengetahuan kamorang rakyat Papua.

Kami juga ikut malu atas kedatangan Saleh Husin, Sudirman Said, Sofyan Djalil dan sejumlah pejabat BUMN ke Tembagapura, dengan Airfast milik PT. Freeport, tanpa merencanakannya bersama dengan pimpinan daerah setempat. Dan kitorang saja hampir-hampir tratau harus taruh muka dimana lagi melihat para petinggi Koalisi Merah Putih maju membela Setya Novanto.

Pembicaraan itu biasa, karena siapa dapat apa dan bagaimana caranya, dalam perebutan 10,64 persen saham divestasi raksasa kapital internasional Freeport, adalah perkara basah bagi kantung para elit. Mereka terbiasa rakus dan korup, agar cepat kaya dan tetap berkuasa. Kalau kamorang ingat, Teten Masduki mengatakan: tak ada Freeport APBN bisa kolaps. Sebesar itulah angka yang sedang mereka perebutkan.

Bagaimana kepedulian mereka terhadap tanah dan nasib kamorang semua, khususnya Amungme, Kamoro, dan suku-suku kerabat lainya? Tak usah ditanya. Presiden katakan ada lima syarat bagi renegosiasi Freeport. Dari kelima syarat tersebut juga tra jelas dimana dorang tempatkan suara-suara pemilik ulayat. Syarat itupun menuntut adanya kepastian perpanjangan kontrak terlebih dahulu.

Riuh-riuh terkait MOU pra renegosiasi Kontrak Karya (KK) ketiga 2021 ini sudah mementaskan banyak drama. Intinya hanya satu: Freeport pegang kendali, karena KK sebelumnya sudah beri dorang kuasa banyak.

Padahal suara-suara kam su riuh, marah, bahkan sesaat setelah PT itu dirikan base camp dan helipad untuk mengeksploitasi areal Nemangkawi tahun 1967. Kemarahan yang jelas, karena mereka menggusur kam pu kebun di Lembah Waa trapake permisi. Perlawanan yang harus, karena dari 100.000Ha pada tahun 1967, lalu 32.000Ha antara tahun 1983-1985, lalu 1 juta Ha, lalu 2,6 juta Ha setelah penandatanganan Kontrak Karya II tahun 1991, tak satupun melalui mekanisme permisi yang benar, apalagi ganti rugi yang layak. Mereka berhasil karena punya tentara bersenjata.

Dorang semua tra pernah pikir kamorang ada. Karena itulah tuntutan 400T untuk ganti rugi lahan sejak 1967 tak mereka gubris, bikin macam telinga batu.

Jadi memang, mereka tak sedang bicarakan nasib kamorang semua. Juga tak sedang bicara situasi kerja dan nasib 30.004 pekerja di sana, dimana kam su setengah mati masuk dan sulit bisa tempati posisi-posisi penting. Mereka hanya bicara angka, yang entah bagaimana masuknya ke kantung negara atau swasta, juga tra jelas, karena tidak atas kuasa dan kontrol kami juga.

Sebetulnya kami malu dengan pembicaraan belakang layar mereka itu. Kalo saja kitorang kuat, kami ingin sekali menggebrak meja dan mendudukkan mereka pada debat perkara yang lebih berguna terkait masa depan Freeport, negeri ini, dan Papua. Perkara yang akan menampar kekuasaan mereka dan kedewasaan politik kami semua.

Seperti yang sudah sejak lama kamorang ingatkan, tapi sedikit sekali di antara kitorang yang mau buka hati, bahwa kontrak pertama PT. FI ilegal karena ditandatangani pada 7 April 1967, sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) diselenggarakan oleh Indonesia di bawah asistensi PBB.

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah syarat hukum bergabungnya Papua ke wilayah Indonesia, sesuai mandat Perjanjian New York 1962. Tetapi proses Pepera dan Pepera itu sendiri, yang diselenggarakan pada Juli-Agustus 1969, hanya dikuti sekitar 1022 orang, dan dipenuhi rekayasa, peristiwa intimidasi dan kekerasan oleh tentara Indonesia. Utusan PBB pada saat itu, Ortiz Sanz, memberi banyak catatan kritis terhadap proses PEPERA.

Angka 1022 itu memang masalah. Karena pemerintah Orde Baru waktu itu dengan sadar menyatakan tidak akan menyelenggarakan pemilihan bebas, melainkah model setengah perwakilan setengah penunjukkan. Lewat telegram Marshal Green kepada Departemen of State AS, 20 Agustus 1968, kami bisa lihat bagaimana mereka setuju rekayasa itu, dan memosisikan kamorang hanya alas kaki demi kepentingan politik dan ekonomi mereka.

“Pada dasarnya yang kami hadapi di sini adalah kelompok-kelompok kesukuan zaman batu buta huruf yang cakrawalanya sangat terbatas, dan tak akan mampu memahami pilihan-pilihan yang diberikan dalam pemungutan suara bebas. Pemilihan bebas bagi kelompok-kelompok semacam ini akan menjadi lelucon saja ketimbang mekanisme curang lainya yang dirancang Indonesia.” Demikian ujar Pace Marshal.

Hingga saat ini resolusi PBB No. XXIV tertanggal 19 November 1969 yang berjudul “Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherland concerning West Papua” masih diperdebatkan intepretasinya. Dan kalau kami mau adil, bagian ini juga elemen penting dalam sejarah berdarah negeri ini yang harus kami buka. Sama seperti membuka pembicaraan terkait peristiwa G30S dan pembantaian massal 1965.

Lalu, bagaimana mungkin kontrak karya I Freeport sudah ditandatangani, sementara Papua belum menjadi bagian ‘resmi’ negara Indonesia?

Ini bukti kuasa Freeport bahkan lebih tinggi dari hukum negara. Pemerintahan Orde Baru Soeharto adalah gardanya. Mereka pasti marah mendengarnya, tanpa mau paham argumentasinya. Tetapi mereka memang harus dibuat marah, agar tidak betah dan tahu salah. Mereka harus akui bahwa Freeport sudah jadi elemen penting pendiri Indonesia Orde Baru, karena demi PT itulah UU No. 1 Penanaman Modal Asing (PMA) pertama dikeluarkan 10 Januari 1967. Jadi kami sangat maklum jika para pejabat di sini tak berkutik di hadapan kaki Freeport.

Lalu sekarang banyak yang mengaku-ngaku sedang menjaga kepentingan bangsa di hadapan Freeport. Kitorang minta maaf pada kamorang semua. Kami betul-betul malu. Jangankan evaluasi kontrak karya I dan II, nyali untuk menggertak saja mereka tidak ada—belum tahun 2021 tapi sudah sibuk layani bahkan melobi balik Freeport. Janji untuk tingkatkan nilai tambah lokal buat Papua, sambil tak satupun angkat suara terkait pelanggaran Freeport di Papua selama 48 tahun.

Sekarang tiba-tiba Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur, macam jadi pahlawan. Permainan apalagi? Kami rasa pesan akhir dari sandiwara ini hanya satu: jangan main-main dengan Freeport, apalagi di tangan mantan petinggi dan Direktur Kontra Separatis BIN itu.

Stop sudah. Mereka baku tipu di hadapan kita semua.

Hanya suara, kehendak, dan perlawanan kamorang semua yang bisa buat Freeport gentar. Bukan dorang yang duduk di istana atau parlemen Indonesia. Kami masih ingat bagaimana gentarnya Freeport ketika 8000-an buruhnya mogok selama enam hari di tahun 2011. Kami tidak tahu apakah pelaku penembakan Petrus Ayamiseba sudah ditangkap atau belum.

Jauh sebelumnya, perlawanan di bawah pimpinan Tuarek Nartkime tahun 1967, protes tahun 1972 di Lembah Tsinga yang mengorbankan sekitar 60 warga Amungme, protes besar-besaran di Mulkindi tahun 1973 karena penggusuran untuk membangun kota Tembagapura, adalah di antara perjuangan yang sanggup memaksa Freeport duduk di hadapan warga Amungme. Tuntutan hanya satu: hargai orang Amungme sebagai manusia yang memiliki hak atas wilayah kehidupan.

Demikian pula rangkaian protes melawan yang dilakukan sepanjang tahun 1990-an bersama Kelly Kwalik, Kamangki Kemong, dan Mama Yosepha Alomang. Hingga tak terhindarkan, beberapa fasilitas Freeport terpaksa dihancurkan di tahun 1996, kota Timika dan Tembagapura lumpuh. Tuntutannya masih sama sederhananya: kesempatan kerja bagi orang asli Papua dan pengembangan manusia khususnya di 7 suku: Amungme, Kamoro, Dani, Damal, Nduga, Moni dan Mee.

Kami juga ingat kam semua berusaha membawa persoalan ini ke ranah hukum dengan menggugat PT. Freeport di New Orleans AS maupun di pengadilan Indonesia. Di luar keberhasilan dan kegagalannya, kamorang su kasehkitorang pelajaran bagaimana menjadi berani, walau kematian harganya. Kamorang su berjuang dan berdarah banyak. Dan hanya setelah itu (1996) Freeport tingkatkan jumlah karyawan orang Papua asli beserta staf.

Dua tahun lalu Gubernur Papua mengajukan 17 agenda strategis pembangunan Papua kepada Freeport. Apakah sudah memenuhi aspirasi kamorang semua?

Jika untuk hak formal dan legal saja ribuan orang Amungme dan Kamoro mesti berjuang mati, maka buat apa sebenarnya PT. itu ada di Papua?

Hanya kamorang yang berhak beri keputusan. Kitorang akan akan bantu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun