Seperti yang sudah sejak lama kamorang ingatkan, tapi sedikit sekali di antara kitorang yang mau buka hati, bahwa kontrak pertama PT. FI ilegal karena ditandatangani pada 7 April 1967, sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) diselenggarakan oleh Indonesia di bawah asistensi PBB.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah syarat hukum bergabungnya Papua ke wilayah Indonesia, sesuai mandat Perjanjian New York 1962. Tetapi proses Pepera dan Pepera itu sendiri, yang diselenggarakan pada Juli-Agustus 1969, hanya dikuti sekitar 1022 orang, dan dipenuhi rekayasa, peristiwa intimidasi dan kekerasan oleh tentara Indonesia. Utusan PBB pada saat itu, Ortiz Sanz, memberi banyak catatan kritis terhadap proses PEPERA.
Angka 1022 itu memang masalah. Karena pemerintah Orde Baru waktu itu dengan sadar menyatakan tidak akan menyelenggarakan pemilihan bebas, melainkah model setengah perwakilan setengah penunjukkan. Lewat telegram Marshal Green kepada Departemen of State AS, 20 Agustus 1968, kami bisa lihat bagaimana mereka setuju rekayasa itu, dan memosisikan kamorang hanya alas kaki demi kepentingan politik dan ekonomi mereka.
“Pada dasarnya yang kami hadapi di sini adalah kelompok-kelompok kesukuan zaman batu buta huruf yang cakrawalanya sangat terbatas, dan tak akan mampu memahami pilihan-pilihan yang diberikan dalam pemungutan suara bebas. Pemilihan bebas bagi kelompok-kelompok semacam ini akan menjadi lelucon saja ketimbang mekanisme curang lainya yang dirancang Indonesia.” Demikian ujar Pace Marshal.
Hingga saat ini resolusi PBB No. XXIV tertanggal 19 November 1969 yang berjudul “Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherland concerning West Papua” masih diperdebatkan intepretasinya. Dan kalau kami mau adil, bagian ini juga elemen penting dalam sejarah berdarah negeri ini yang harus kami buka. Sama seperti membuka pembicaraan terkait peristiwa G30S dan pembantaian massal 1965.
Lalu, bagaimana mungkin kontrak karya I Freeport sudah ditandatangani, sementara Papua belum menjadi bagian ‘resmi’ negara Indonesia?
Ini bukti kuasa Freeport bahkan lebih tinggi dari hukum negara. Pemerintahan Orde Baru Soeharto adalah gardanya. Mereka pasti marah mendengarnya, tanpa mau paham argumentasinya. Tetapi mereka memang harus dibuat marah, agar tidak betah dan tahu salah. Mereka harus akui bahwa Freeport sudah jadi elemen penting pendiri Indonesia Orde Baru, karena demi PT itulah UU No. 1 Penanaman Modal Asing (PMA) pertama dikeluarkan 10 Januari 1967. Jadi kami sangat maklum jika para pejabat di sini tak berkutik di hadapan kaki Freeport.
Lalu sekarang banyak yang mengaku-ngaku sedang menjaga kepentingan bangsa di hadapan Freeport. Kitorang minta maaf pada kamorang semua. Kami betul-betul malu. Jangankan evaluasi kontrak karya I dan II, nyali untuk menggertak saja mereka tidak ada—belum tahun 2021 tapi sudah sibuk layani bahkan melobi balik Freeport. Janji untuk tingkatkan nilai tambah lokal buat Papua, sambil tak satupun angkat suara terkait pelanggaran Freeport di Papua selama 48 tahun.
Sekarang tiba-tiba Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur, macam jadi pahlawan. Permainan apalagi? Kami rasa pesan akhir dari sandiwara ini hanya satu: jangan main-main dengan Freeport, apalagi di tangan mantan petinggi dan Direktur Kontra Separatis BIN itu.
Stop sudah. Mereka baku tipu di hadapan kita semua.
Hanya suara, kehendak, dan perlawanan kamorang semua yang bisa buat Freeport gentar. Bukan dorang yang duduk di istana atau parlemen Indonesia. Kami masih ingat bagaimana gentarnya Freeport ketika 8000-an buruhnya mogok selama enam hari di tahun 2011. Kami tidak tahu apakah pelaku penembakan Petrus Ayamiseba sudah ditangkap atau belum.