Banyak ketidaKsetujuan hanya sebatas materi, cara, mekanisme pengambilan keputusannya, dan anggaran. Padahal yang penting ditanyakan: Apa yang mau dibela? Buat apa?
Mengapa disiplin dan etos kerja masih saja dikaitkan dengan program baris berbaris dan pelatihan ala militer? Mau bela negara atau bela militer? Sedemikian memburukkah kualitas demokrasi pasca reformasi yang pesan utamanya, padahal, anti militerisme? Sebegitu tak berdayanyakah para pemimpin sipil dihadapan politik militer?
Mengapa untuk mengunjungi makam Ibunda saja, Tom Iljas, seorang eksil ’65, masih diintimidasi, ditangkap, diinterogasi, dan dideportasi? Empat remaja ditembak mati oleh 3 satuan aparat keamanan di Paniai 2014 sampai sekarang tak jelas pengusutannya, bahkan bertambah korban remaja dalam kasus-kasus lainnya di Papua. Kekerasan aparat yang melibatkan diri dalam persoalan agraria dan hubungan industrial masih mengorbankan rakyat. Lalu sedang membela apa aparat yang bertindak semacam itu? Bela negara?
Ide Bela Negara ini tidak baru. Di era SBY Rancangan UU Komponen Cadangan (Komcad) sudah digulirkan dengan semangat sama. Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan juga sudah menyinggung rencana program ini pada peringatan Hari Bela Negara 19 Desember 2014 lalu.
Tetapi Menhan, seperti biasa, beberapa langkah lebih ganas kalau sudah menyangkut pertahanan negara. Tak cukup materi, kader-kader pertahanan negara, yang diberinya pangkat ‘Pembina Bela Negara’ akan segera dicetak. Tak tanggung-tanggung jumlahnya. Bila dahulu dwi fungsi ABRI membuat militer ada dalam politik sipil, maka kini sipil dikondisikan berpolitik (ala) militer.
Kemenhan sejak awal tahun ini sudah mengajukan setidaknya 4 RUU untuk masuk prolegnas: Rahasia Negara, Keamanan Nasional, Komcad, dan Revisi UU TNI. Sebenarnya ia tahu, semua rencana ini bukan untuk perang antar negara, tetapi untuk pertahankan negara—tidak dijelaskan dari ancaman apa: “Pertahanan negara ini seluruh bangsa harus ikut, TNI dan alutsistanya dengan rakyat; dan senjata rakyat adalah wawasan kebangsaan dan moral.” Dan kita tahu, apa maksudnya mempertahanan negara dalam pikiran Kemenhan: pertahanan dari perlawanan rakyatnya sendiri.
Daoed Joesoef menyiratkan dalam bukunya tentang strategi (2014) bahwa program semacam ini diniscayakan oleh UUD (pasal 30 Ayat 1). Menurutnya program ini adalah elemen perang total yang menjadi ciri perang modern di abad 21. “Dalam suatu perang total setiap orang, baik militer maupun sipil, pasti punya peluang yang sama untuk mati. Bila demikian kepada setiap orang wajar diberi pula peluang yang sama untuk memikirkan bagaimana cara kematian itu.” Peluang mati boleh sama, tetapi keuntungannya berbeda: yang satu dapat pensiun yang lain mati cuma-cuma.
Ada dua maksud terselubung dari program ini. Pertama, milliter sedang tidak percaya diri akan kekuatannya sendiri, dan minta bantuan rakyat untuk ikut membantunya ‘bela negara’; Kedua, rakyat (termasuk militer miskin bawahan) akan semakin dipecah belah agar memusuhi sesamanya; agar tidak membuat perhitungan dengan para pejabat pembuat kebijakan dan para jenderalnya.
Jangan kutuk program ini karena, misalnya, bukan untuk bela rakyat, atau untuk usir Freeport. Memang bukan itu tujuannya. Pahamilah ia sebagai konsekuensi logis masih kuatnya militer dan politik militer Indonesia di dalam narasi kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia pasca 1965. Dan bangsa yang dibentuk sejak itu adalah bangsa yang berdiri di dua pilar ideologi: anti komunisme dan anti separatisme. Konsekuenasinya, bangsa ini dididik untuk membenci perbedaan, benci perlawanan rakyat, curiga pada hak azasi manusia, benci kritik, terganggu dengan supremasi sipil, benci orang-orang Papua yang melawan—apalagi minta merdeka.
Program Bela Negara memang bukan untuk bela rakyat, tapi untuk bela kepentingan pilar-pilar tegaknya negara: tentara, penjara dan kebijakannya; atau eksekutif, legislatif, dan yudikatifnya. Walau, tentu saja, pengajuan program ini juga karena butuh dana tambahan, akibat dana alutista tak juga ditambah—malah dikurangi.
Indonesia bukannya absen pendidikan kewarganegaraan. Dari mulai menghapal 36 butir Pancasila di era Orde Baru, sampai pendidikan kewarganegaraan yang terkini di reformasi, belum ditambah upacara bendera, program Resimen Mahasiswa (Menwa) yang makin kreatif dan sangar di kampus-kampus, sampai kewajiban menyanyikan lagu kebangsaan sebagai program Kemendiknas. Kurang apalagi? Bila para pemudanya masih saja terjerumus narkoba, apa karena mereka kurang berbaris, menghapal Pancasila dan bernyanyi Indonesia Raya? Lalu apa saja kerja ormas-ormas “bela negara” yang paling awet keberadaanya sejak 1966 itu?