Keduanya selalu sinis ketika 22 Desember diperingati sebagai hari Ibu. Walau untuk alasan yang berbeda aktivis-aktivis feminis indonesia juga tak bersetuju penyebutan hari Ibu pada 22 Desember. Yang pertama marah bercampur (mungkin) sedih karena Ibu yang tidak ‘bertanggungjawab’, sementara yang kedua tak bersetuju perempuan sekadar diasosiasikan sebagai Ibu, apalagi momen itu adalah momen dimana perempuan berkumpul dan berkongres membicarakan masalah-masalah perempuan dan kebangsaan.
Saya sendiri juga kehilangan Ibu, tak punya memori tentangnya sama sekali, kecuali momen kedatangan jenazahnya dan saya diminta duduk disamping kepalanya berdoa. Bertahun-tahun kemudian baru merasa, tidak punya Ibu memang tidak enak. Padahal saya besar dikelilingi banyak perempuan yang tak kurang berperan sebagai Ibu.
Perasaan tidak enak itu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi karena televisi dan film-film lepas selalu menyajikan suasana khas keluarga: Ayah, Ibu dan, setidaknya, dua orang anak, tampak bahagia, duduk bersama di meja makan. Sejak itulah imajinasi keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak lahir dan tumbuh menjadi bagian dari kesadaran. Di luar image itu, tidak lengkaplah hidup seseorang, bahkan laknat jika ia mendamba memiliki keluarga dengan sesama jenisnya.
Di era Orde Baru, citra keluarga yang disajikan, sekaligus hidup di sekitar masa remaja saya, adalah bentukan kekuasaan politik Orba. Dimana keluarga inti adalah wujud kontrol kekuasaan atas pilihan-pilihan kehidupan personal, reproduksi sosial, perilaku sosial dan politik. Bila Anda pernah mengunjungi Museum Pancasila Sakti dan melihat relief kepahlawanan Soeharto di dekat tugu ‘7 Pahlawan Revolusi’, Anda bisa bandingkan citra perempuan Gerwani yang ‘sundal’ sambil menari harum bunga dengan citra perempuan Soeharto yang keibuan, sopan, sambil memomong anak.
Menjadi Ibu dalam struktur masyarakat Indonesia sejak Orde Baru mengandung misi politik mengembalikan perempuan-perempuan ke halaman belakang rumah tangga. Menghancurkan Gerwani, sebagai gerakan perempuan paling politis hingga 1965, sekaligus bermakna menghancurkan politisasi perempuan. Hasilnya adalah organisasi-organisasi para Istri pendamping suami: ke surga nunut, ke neraka katut.
Sementara menjadi Ibu dalam sejarah peradaban yang patriarkal tidak berbeda secara esensi, yakni pengampu reproduksi. Namun sejak 200 tahun terakhir peran ini telah digugat seiring berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terkait hak. Sejak perempuan terintegrasi ke pasar kerja dan memenangkan hak politiknya sebagai warga negara, wajah peribuan perempuan tak pernah lagi sama.
Banyak yang menyerang gerakan hak-hak perempuan sebagai yang hendak melawan kodrat keibuan. Padahal yang dikehendaki perjuangan menyakitkan tersebut hanyalah kebebasan perempuan untuk memilih, membuat dan memiliki pilihan. Apakah kodrat itu? Siapa yang menetapkannya? Untuk kepentingan apa? Banyak pertanyaan yang masih saja relevan diajukan setelah 200 tahun gerakan perempuan dan gerakan hak-hak warganegara berhasil memperjuangkan pembatasan usia pernikahan, pemenjaraan terhadap kejahatan seksual, dan kedudukan yang sama dimuka hukum.
Apakah menjadi Ibu atau tidak mengurangi hakikatnya sebagai perempuan? Apakah pilihan menjadi atau tidak menjadi itu ada di dalam cakrawala pikirannya? Lebih jauh lagi, apakah perempuan mengetahui bahwa ia memiliki pilihan dan boleh memilih, sekalipun pilihan-pilihan itu sangat dibatasi oleh akses dan sumberdaya—serta keberanian—dalam sistem kekuasaan politik dan masyarakat tertentu?
Menjadi Ibu adalah peran gender. Menjadi beragam Ibu adalah fenomena di era kapitalisme ini. Dan motivasinya memiliki saling-kaitan yang rumit. Selagi masyarakat masih memosisikan perempuan semata-mata sebagai pereproduksi keturunan, dan kapitalisme menempatkannya hanya sebagai pereproduksi tenaga kerja, maka Ibu adalah komoditas dan tubuhnya adalah alat tukar.
Maka beruntunglah para perempuan yang menjadi Ibu karena limpahan cinta kasih dan kemudahan ekonomi. Malanglah para perempuan yang menjadi Ibu dari kekurangan cinta dan melarat. Tapi diantara keduanya, malanglah semua kita yang dilahirkan dari berbagai Ibu namun belum menyadari berbagai kesulitan menjadi seorang Ibu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H