Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasca Drama Tolikara

21 Maret 2016   19:13 Diperbarui: 21 Maret 2016   19:20 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

27 July 2015

Zely Ariane

Harian Indoprogress

Kami sekarang sedang pikir nyawa manusia ini tidak ada harga sama sekali dari pada kios dan mushola. Kami sangat kecewa sekali dengan tindakan mereka.” Saksi warga I Insiden Tolikara

DRAMA Tolikara sudah memasuki babak baru, tetapi teka teki kejadian belum terpecahkan. Pelaku penembakan masih berkeliaran.

Penangkapan HK dan JW, sebagai penyebab insiden 17 Juli di Karubaga, Tolikara, sedang mencuci tangan aparat keamanan yang sejak awal gagal mencegah peluang terjadinya insiden tersebut. Kematian Endi Wanimbo (15Th) akibat peluru tajam, dan melukai 11 lainnya, dalam insiden tersebut ditanggapi dingin oleh TNI dan dengan apologi oleh Polri: siapapun yang menyerang wajar ditembak.

Ditembak dengan peluru tajam, yang tidak diarahkan ke atas layaknya prosedur penanganan massa, dianggap wajar oleh TNI. Banyak kewajaran serupa terjadi di Papua. Jerry Nawipa ditembak di dada oleh polisi hanya karena cekcok makan baso. Demikian pula Roby Erik Pekey ditembak tiga kali di kaki hanya karena tampak seperti pencuri. Kewajaran tampaknya juga berlaku pada penyiksaan dan penembakan dua pendeta Sidang Gereja GIDI, Pdt. Kinderman Gire dan Pdt. Pitinius Kogoya, di kampung Kalome, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. “Model kewajaran”semacam ini sudah berlangsung puluhan tahun di Papua.

Banyak orang terbiasa cepat puas ketika maling digebuki, pembunuh dan pengedar narkoba dihukum mati. Tak banyak yang sadar negara ini sama sekali tak punya upaya mengurangi motivasi maling, motivasi membunuh dan motivasi memproduksi dan mengedarkan narkoba. Bukan karena negara gagal atau tidak hadir, tetapi karena fungsinya saat ini bukan untuk mengatasi penyebab masalah, melainkan hanya mengelola masalah-masalah itu. Dan kita semua tahu, insitusi TNI-Polri adalah salah satu penyebab masalah, apalagi di Papua.

Babak baru juga dibuka dengan milyaran dana sosial yang berhasil dikumpulkan oleh berbagai pihak dengan berbagai sentimen. Komite Umat (KOMAT) untuk Tolikara mengumpulkan 1.3M, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyumbang 1.3M, dan inisiatif Panji Pragiwaksono pun dalam waktu singkat berhasil kumpulkan 300an juta dari target 200 juta. Sementara pemerintah sejak tanggal 19 Juli sudah mengatakan akan segera membangun kembali mushola, kios dan rumah yang terbakar. Bupati dan Pemkab Tolikara pun berjanjimemberi ganti rugi atas semua kerugian yang ditimbulkan.

Miris. Mungkin itu kata yang tepat merespon kecepatan berbagai pihak membantu dibangunnya kembali Mushola, kios dan rumah yang terbakar di Karubaga. Entah berapa milyar total keseluruhan dana sosial tersebut, yang pasti diperoleh akibat framing media terkait “mushola dibakar”, “umat muslim Tolikara dilarang Shalat”, dan tambahan lainnya di surat edaran GIDIyang beredar cepat di Jakarta melalui media sosial.

Apapun motivasinya, yang pasti masyarakat kita masih lebih cepat tergerak oleh sentimen agama yang di framingsedemikian rupa oleh media dengan kehebohan dan bumbu provokasi. Miris karena di saat yang sama 11 pemuda Papua korban penembakan tak mendapat perhatian yang sama, seperti halnya 11 orang Papua lainnya yang meninggal karena krisis pangan di Lani Jaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun