Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Papua Itu Kita

21 Maret 2016   09:37 Diperbarui: 21 Maret 2016   10:35 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia gagal membunuh kehendak Papua menentukan nasibnya sendiri. Orang Papua telah tumbuh sedemikian rupa dan hendak membangun honainya yang baru, setelah berkali-kali dibumi hangus oleh berjenis-jenis operasi keamanan pemerintah Indonesia. Di tengah berbagai tekanan dan ancaman, orang Papua tak pernah berhenti membangun honai kebangsaannya sendiri, dengan berbagai cara.

Lalu ketika status politik integrasi, diskriminasi, militerisasi terus digugat dengan harga nyawa oleh orang Papua, kenapa kita tetap tak mau tahu, mendengar dan tutup mata? Kadang kita menjawabnya dengan: ‘itu bukan aspirasi semua orang Papua’, atau kita merasa jika Papua merdeka keadaan mereka malah akan lebih buruk karena tak bisa mengurus diri sendiri. Bukankah itu juga argumentasi khas kolonial Belanda?

Kedua, renungkan saja apakah kita merasa telah menjadi Indonesia dari Sabang sampai Merauke, hidup berbhineka tunggal Ika demi sila ketiga Pancasila? Benarkah Garuda ada di dada dan pengorbanan para pahlawan (yang selalu diajarkan sebagai sosok tentara dan bukan rakyat biasa yang ikut berperang) membuat kita bahu membahu membangun negeri ini dengan berkeadilan sosial? Tidakkah kita lihat siapa yang dapat untung karena yang lain buntung di negeri ini?

Perasaan nasionalisme era Orde Baru dibangun dari atas lewat propaganda koran, film, televisi dan buku pelajaran sejarah, atau lewat ancaman dan kelakuan ormas paramiliter seperti Pemuda Pancasila. Ia tak tumbuh organik, karena Orde Baru sudah merusaknya sampai ke akar, neoliberalisme telah mencacah-cacah dan menyusunnya kembali sebagai sekadar senjata untuk perluasan kapital tanpa ampun.

Ketiga, “cita-cita proklamasi adalah membangun bangsa baru, bukan kembali ke masa lalu” demikian ujar Gunawan Wiradi di dalam bedah bukunya Menilik Demokrasi, 27 Mei lalu. Di era imperialisme modern ini nasionalisme baru bisa tumbuh untuk melawan tatanan kolonial dan eksploitasi. Nasionalisme baru ini memiliki kemungkinkan untuk menjadi fasis atau membebaskan, tergantung perimbangan kekuatan sosial yang bertarung di dalamnya.

Kita harus bertarung untuk yang kedua: nasionalisme yang membebaskan. Nasionalisme jenis ini tidak berhenti pada tataran normatif dan fundamentalis (yang bisa berujung fasis), seperti penegakan konstitusi dan pasal 33 UU ’45 atau kedaulatan teritorial belaka. Ia bergerak lebih jauh lagi, yakni membebaskan dirinya sendiri dari prasangka-prasangka kebangsaan: anti asing, anti aseng, anti yahudi, termasuk anti Papua sebagai sebuah identitas bangsa.

Artinya, nasionalisme yang membebaskan akan membela hak-hak rakyat Papua untuk bisa punya ruang berpikir dan bergerak atas kehendaknya sendiri, ketimbang mendikte dan memaksakan kehendak, yang menurut (pemerintah), bangsa kita baik di bawah senjata dan komando teritorial.

Ruang untuk bebas berpikir dan bergerak itu adalah demokrasi, dan orang Papua tidak memilikinya.

Ketika mayoritas orang Papua tidak diberikan ruang demokrasi, akses ekonomi dan perlakuan yang sama dengan kita, sekecil apapun celah itu, artinya ada aspirasi yang lebih besar sedang ditindas terus menerus di sana. Kita tidak sudi punya negara dan bangsa yang kaki-kakinya berdiri di atas kubangan darah rakyatnya sendiri untuk dijadikan karpet merah bagi korporasi. Kita sedang berjuang mengubahnya.

Itulah sebabnya Papua Itu Kita. Bukan saja karena kita peduli, tetapi karena kita perlu bersolidaritas. Dan solidaritas membuat kita setara sebagai dua entitas yang keberadaannya satu sama lain diakui dan saling beri-menerima manfaat, menghentikan dominasi dan bahu membahu mempertahankan hak-hak azasinya.

Papua Itu Kita karena kebebasan Papua menentukan pembebasan kita, dan kebebasan kita menentukan pembebasan Papua. Seperti ungkapan Lilla Watson, seorang Murri dan aktivis hak-hak masyarakat asli Australia: “Jika kau datang untuk menolongku, kau buang-buang waktu saja. Tetapi jika kau datang karena kebebasanmu terikat dengan kebebasanku, maka mari kita bekerja bersama.”***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun