Pilihan membangun alat politik kiri yang memfasilitasi keragaman semacam ini bukannya tanpa kontroversi. Hingga detik inipun debat pedas bagaimana “cara terbaik” membangun partai kiri dan atau partai revolusioner (yang homogen atau yang plural) terus berlangsung di kalangan kiri di berbagai negeri dan situasi. Siapa yang bisa mengklaim kebenaran, karena pada akhirnya membangun itu sendiri adalah kata kerja aktif, yang sederhana konsekuensinya: diuji lewat eksperimentasi, dinilai dari keberhasilannya mendapat dukungan publik menumbangkan kuasa kapital. Ujian ini penting, agar tak tertukar antara keinginan dan kenyataan yang menjadi sumber kefrustasian dan voluntarisme jangka panjang.
Jika memahami keragaman ini sebagai kekuatan, maka tak cukup memulai penyatuan bersyarat kesamaan pemahaman atas program. Apalagi seringkali berujung perdebatan lusinan program tanpa sanggup membuat kemajuan pergerakan. Kita mesti belajar membangun penyatuan bersyarat keragaman dan praksis: aksi-advokasi bersama, konferensi-konferensi, ajang-ajang diskusi dan pendidikan, pengorganisiran event-event kebudayaan, pengorganisasian bersama di lingkungan sekitar dan tempat kerja, dan seterusnya. Media sosial adalah salah satutools yang bisa menjangkau dan melibatkan orang dan jaringan yang semakin beragam itu. Masih banyak cara lain, yang apapun itu semestinya bertujuan menyatukan, bukan memecah, daya perjuangan rakyat.
Bila kita memahami titik berangkat ini, maka makna slogan People’s Climate March: untuk mengubah semua hal kita perlu semua orang, dapat kita mengerti. Di tengah krisis peradaban kapitalisme dan daya dukung alam, bagaimana mungkin kita temukan harapan jika tidak dari hasil kerja perjuangan banyak orang, kalau tidak semua orang, untuk menyelamatkan satu-satunya bumi tempat kita hidup ini?***
11 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H