Mohon tunggu...
Zely Ariane
Zely Ariane Mohon Tunggu... -

Menulis hal-hal yang (tidak) disuka (banyak) orang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Harapan, Mengingat Arnold Ap

20 Maret 2016   21:44 Diperbarui: 21 Maret 2016   09:32 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua propinsi di Papua adalah wilayah dengan Angka Kematian Ibu tertinggi di Indonesia, orang-orang paling tidak berbahagia di negeri ini, penderita HIV/AIDS tertinggi di Indonesia, dan balita dengan gizi buruk tinggi di wilayah Indonesia. Papua juga adalah wilayah paling termiliterisasi dengan korban kekerasan terus meningkat setiap tahun. Menurut laporan KOMNAS HAM, sejak 1961 hingga 1998, telah terjadi 44 kali operasi militer diberbagai wilayah di Papua. Dalam periode 2012-2014, Elsam mencatat telah terjadi 389 kasus kekerasan, 234 tewas, 854 luka-luka, dan 880 ditangkap. Menurut beberapa organisasi HAM termasuk Amnesty Internasional, lebih dari 100.000 jiwa tewas sejak 1963, dan korban terbesar adalah warga biasa.

Hak hidup orang Papua semakin tidak dijamin. Menurunnya jumlah penduduk asli dibanding penduduk pendatang (58%:42 persen) adalah hal yang dibiarkan. Masyarakat pendatang dengan gampang dijumpai menguasai sektor-sektor ekonomi perdagangan dan menengah ke atas, tinggal di perkotaan, sementara masyarakat pribumi Papua umumnya tidak menguasai sektor ekonomi menengah atas dan tinggal di pedalaman, tanpa jaminan akses pendidikan dan kesehatan. Namun justru, perasaan dan pengalaman disingkirkan, terpojok, tersudut, dan tak terlindungi menjadi sumber gerakan perlawanan rakyat Papua (Hernawan, 2006). Berbagai ungkapan perasaan berani maju, siap mati, adalah representasi dari perasaan dan pengalaman tersingkir itu.

Arnold Ap adalah martir yang mengobati perasaan tersebut menjadi kekuatan penyatu. Dan kebudayaan asli Papua adalah obatnya.

Arnold dibunuh 26 April 1984 oleh Kopassandha, sebutan untuk Kopassus di masa itu, karena memiliki cita-cita dan berjuang mewujudkannya. Melalui Mambesak, kelompok musik yang ia dirikan, mengutip Ngurah Suryawan, ‘mengangkat kesenian rakyat Papua yang berakar pada lagu-lagu dan tari-tarian rakyat yang hidup pada keseharian rakyat Papua… memperkenalkan bahasa Indonesia dengan logat Papua dan menguraikan beberapa unsur kebudayaan Papua.’

Sambutan terhadap Arnold Ap dan Mambesak yang besar di kalangan masyarakat Papua era 1970-80an, siaran radionya yang didengar banyak orang, lima volume kaset lagu-lagu Papua yang diaransemen ulang laris manis, menjadi semacam medium dimana orang-orang Papua merasa satu nasib dan satu rasa.

Mengapa nyanyian dan tarian membuat Arnold dibunuh Kopassandha? Tidakkah serupa ketika Tirto Adhi Soerjo dibuang ke P. Bacan oleh Belanda karena, melalui tulisan, membangkitkan rasa senasib sepenanggungan orang-orang pribumi berhadapan dengan penjajah Belanda? Di dalam Mars Papua Mambesak, perasaan itu terungkap: ‘Saya tidak mau menjadi budak terus. Biar saya makan kah, tidakkah saya mau berdiri sendiri’. Kopassandha, dan militer Indonesia di bawah Soeharto, lebih takut pada besarnya potensi kekuatan dari bersatunya rasa senasib dan sepenanggungan ini ketimbang perjuangan bersenjata gerakan pro kemerdekaan di Papua.

Seorang Brimob, yang mengetahui peristiwa pembunuhan Arnold, mengonfirmasi bahwa pejabat kemiliteran memang menganggap Ap sebagai ‘orang yang sangat berbahaya karena aktivitas-aktivitas para pemain kelompok Mambesaknya dan menghendaki ia dihukum mati atau dihukum seumur hidup, namun tidak punya bukti untuk dibawa ke peradilan.’

Arnold juga seorang kurator Museum Antropologi di Jayapura. Rektor Universitas Cendrawasih memberhentikannya sementara sebagai kurator karena penahanan tersebut atas ‘dugaan subversi’. Ketika harian Indonesia, Sinar Harapan melaporkan bahwa keluarga Ap tidak diberikan hak untuk berkomunikasi, surat kabar itu diancam dibredel jika tidak menyuarakan keterangan versi tentara.’ Melalui pesan-pesan kebudayaan dalam nyanyian dan tari, Arnold Ap dan kawan-kawannya telah mengguncang stabilitas pilar-pilar kuasa nasionalisme berdarah Orde Baru di Papua.

Begitu besar harapan yang sedang ditanam dari proses itu ke dalam pikiran dan hati orang-orang Papua. Seperti mottonya, ‘kita bernyanyi untuk hidup yang dulu, sekarang dan nanti’ Mambesak hendak mengatakan nyanyiannya adalah perawat kehidupan orang Papua.

Menuntut keadilan atas kematian Arnold Ap adalah satu hal. Natalis Pigay pada 8 April 2015, dihadapan mahasiswa-mahasiswa Paniai di KOMNAS HAM mengatakan akan membawa kasus ini ke paripurna untuk dibuka kembali. Namun yang lebih penting bagaimana harapan yang telah ditanam pergerakan kebudayaan Arnold Ap bisa diteruskan. Dengan musik, lagu, dan tari, ‘kami mengetuk pintu keadilan’, demikian Max Binur, seorang perawat budaya Papua yang banyak mengangkat kembali semangat pergerakan budaya Arnold Ap.

Dalam semangat ini, saya rasa, pergerakan semacam Al-Kamandjati ala Papua pasca Arnold Ap, bisa menjadi semacam oase yang merawat harapan kehidupan orang-orang Papua. Bagaimana ia dilakukan bukanlah otoritas saya untuk bisa mengatakan. Perjuangan sosial politik yang sedang dilakukan hari ini oleh berbagai kelompok sipil dan politik di Papua adalah salah satu jalan agar keadilan tegak. Namun perjuangan kebudayaan adalah obat atas dirusaknya aspek-aspek kemanusiaan orang Papua akibat sejarah kekerasan dan carut marutnya otonomi khusus. Dan obat itu dibutuhkan sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun