Akhir tahun 2019, dunia digemparkan dengan adanya sebuah wabah yang berasal dari Kota Wuhan, China. Sebuah wabah dari virus yang baru pertama kali terjadi ini menjadi perhatian seluruh dunia. Ketika kemudian World Health Organization (WHO) yang merupakan organisasi kesehatan dunia menyampaikan bahwa wabah dari virus SARS-CoV-2 dikategorikan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020, maka seluruh pusat perhatian pemerintahan negara-negara terdampak berfokus pada kondisi baru ini.
Pandemi COVID-19 ini tidak hanya membuat negara berfokus pada masalah kesehatan. Meski dampak terbesar yang dirasakan karena adanya pandemi ini terjadi pada bidang kesehatan, seperti rumah sakit yang penuh dan obat-obatan yang terus dibutuhkan, namun pandemi yang tidak diketahui kapan berakhir ini juga perlahan menimbulkan kecemasan kepada sektor pemerintahan. Selain adanya kondisi kesehatan yang terus menurun, pandemi yang terjadi juga memaksa para pimpinan dunia untuk mengubah kebijakan-kebijakan demi mempertahankan kondisi politik maupun perekonomian suata negara.
Sejumlah upaya untuk mecegah lajunya penyebaran virus yang bisa terjadi melalui kontak secara langsung dikerahkan oleh pemerintah tiap negara. Diantaranya adalah lockdown, karantina, dan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Dengan adanya upaya-upaya tersebut maka sektor transportasi dibatasi pengoperasiannya. Sejumlah penerbangan dihentikan, kapal-kapal dilarang berlayar, dan transportasi darat mengalami pembatasan jam kerja. Tidak hanya pada sektor transportasi, namun sejumlah industri besar juga mengalami pemberhentian produksi karena para pekerja yang harus menjalani karantina di rumah masing-masing. Seluruh kegiatan masyarakat dunia menjadi terbatas.
Pembatasan kegiatan masyarakat ini berdampak pada aktivitas ekonomi yang juga melambat atau bahkan menurun drastis. Pemerintah dunia menjadi dibuat was-was dengan adanya ancaman resesi global akibat pandemi. International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa ada perkiraan kerugian ekonomi global akibat dari pandemi COVID-19 akan mencapai 12 triliun dollar Amerika Serikat atau sekitar 168.000 triliun rupiah. Dalam proyeksi yang disampaikan oleh IMF, 95% negara di dunia akan mengalami pertumbuhan ekonomi kearah negatif, termasuk negara-negara maju dengan perekonomian yang kuat sebelum adanya pandemi. Negara-negara maju tersebut diantaranya Amerika Serikat (-8%), Jepang (-5,8%), Inggris (-10,2%), Jerman (-7,8%), Prancis (-12,5%). Italia dan Spanyol (-12,8%). Sementara IMF memperkirakan Indonesia yang merupakan negara berkembang akan mengalami pertumbuhan sebesar -0,3%, namun faktanya Mentri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, menyampaikan bahwa pada Agustus 2020 kontraksi ekonomi Indonesia mencapai -6,13%.
Perekonomian dunia yang mengalami kontraksi ini terjadi karena kegiatan perekonomian dunia yang tidak bisa berjalan lancar seperti sebelumnya. Banyak kegiatan industri yang terpaksa berhenti. Kegiatan ekspor dan impor menjadi terhambat karena himbauan agar menghindari adanya kontak dengan pihak luar. Selain itu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) banyak yang harus mengalami kebangkrutan karena kondisi ekonomi yang terus menurun.
Selain karena banyaknya kegiatan perdagangan internasional yang terhambat, akibat dari pandemi ini juga sangat terasa dalam bidang pariwisata. Pembatasan kegiatan yang berskala besar membuat orang-orang tidak bisa berkumpul dalam skala besar dalam waktu yang cukup lama. Selain itu pembatasan kegiatan transportasi membuat banyak turis yang tidak bisa berpergian, bukan hanya antar negara, bahkan antar kota. Tidak bisanya masyarakat berpergian lintas negara membuat devisa negara mengalami penurunan. Sepinya pengujung ini membuat banyak tempat pariwisata yang terpaksa ditutup sementara.
Akibat dari banyaknya usaha masyarakat serta perindustrian yang terpaksa berhenti, para pekerja menjadi terpaksa dipulangkan atau diberhentikan. Hal ini berakibat pada angka pengangguran yang menjadi meningkat drastis. Bahkan diwilayah Eropa, pengangguran terus meningkat selama lima bulan semenjak WHO menyatakan pandemi untuk wabah COVID-19. Bulan Agustus 2020 tercatat pengangguran di Eropa mencapai 8,1%.
Angka pengangguran yang tinggi akan berdampak kepada peningkatan angka kemiskinan. Bahkan United Nations (UN) mencatat pada 2020 sebanyak 71 juta orang telah memasuki kemiskinan yang ekstrim (Extreme Poverty). Meningkatnya angka kemiskinan ini ditambah dengan kondisi pandemi yang tidak dapat diperkirakan, menimbulkan kekhawatiran akan adanya dampak lanjutan, seperti meningkatnya akan kriminalitas dan kasus bunuh diri. Padahal dalam beberapa tahun terakhir, UN mencatat banyak negara telah berhasil menurunkan angka kemiskinan secara perlahan hingga perlahan juga kesenjangan antara negara berkembang dengan negara maju semakin menipis.
Salah satu badan dari UN yang bergerak dibidang makanan dan agrikultur atau Food Agriculture and Organization (FAO) menyampaikan bahwa diprediksi 132 juta orang akan mengalami kelaparan pada tahun 2020. Selain dipicu karena tingkat kemiskinan yang terus meningkat, kondisi kelaparan yang dialami juga dikarenakan adanya akses transportasi yang dibatasi. Akibatnya rantai pasokan pertanian pada beberapa negara juga terkendala. Sementara beberapa negara menggantungkan persedian makanan pokok melalui kegiatan impor. Seperti Indonesia yang masih melakukan impor beras dari Vietnam, Thailand, serta Myanmar.
Besarnya krisis ekonomi global yang merupakan dampak dari pandemi COVID-19 ini memaksa seluruh tatanan negara agar beradaptasi dan membuat kebijakan secara politik untuk mempertahankan kondisi suatu negara. Dalam waktu singkat, negara-negara di dunia harus mampu membuat kebijakan yang tepat dan efektif untuk mengantisipasi tekanan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi global dapat berangsur membaik pada 2021 meski dengan pertumbuhan yang relevan lambat. Dengan perkiraan kondisi pandemi yang dapat diatasi berangsur-angsur pada saat itu, maka langkah taktis dengan menciptakan berbagai stimulus melalui langkah-langkah dalam bentuk subsidi dan paket stimulus. Beberapa kebijakan tersebut dapat berupa pengurangan jenis pajak, retrukturisasi kredit dunia usaha, dukungan upah, dan tindakan antisipasi yang lain.
Beberapa langkah yang dipilih oleh negara-negara di dunia terbukti memberikan hasil. Sementara vaksin terus dikembangkan sebagai salah satu upaya untuk keluar dari kondisi pandemi, negara-negara di dunia juga berhasil mengatasi kontraksi perekonomian secara global dari negaitif menjadi positif. Dukungan dari kebijakan yang dibuat oleh negara-negara di dunia juga membantu proses pengembangan vaksi berjalan hingga kini kondisi pandemi mulai mereda dan sektor perekonomian negara dapat berjalan normal perlahan. Transportasi darat, laut, dan udara mulai dibuka kembali sehingga kegiatan perdagangan internasional Kembali berjalan. Selain itu sektor pariwisata juga mulai kembali beroperasi. Tentunya masyarakat juga harus tetap mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik yang sudah maupun yang akan datang demi mendukung kondisi dunia yang normal kembali.
Source:
Arianto, Bambang. 2020. "Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Perekonomian Dunia". Jurnal Ekonomi Perjuangan Vol.2 No.2 Thn.2020 hal.106-126.
Junaedi, Dedi; dan Salistia, Faisal. 2020. "Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Terdampak". Simposium Nasional Keuangan Negara 2020 hal. 995-1013.
World Health Organization (WHO). 2020. "WHO Director-General's opening remarks at the media briefing on COVID-19 -- 11 March 2020". https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020 (diakses pada 6 Maret 2023)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H