Mohon tunggu...
nur’ annisah
nur’ annisah Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

hobi membaca buku fantasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Teori Psikososial Erik Erikson

20 Januari 2025   16:50 Diperbarui: 20 Januari 2025   16:50 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

              Teori Psikososial Erik Erikson


Teori psikososial Erik Erikson merupakan salah satu teori perkembangan yang paling berpengaruh dalam psikologi, yang berfokus pada perkembangan manusia sepanjang kehidupan. Erikson berpendapat bahwa manusia menghadapi serangkaian konflik psikososial yang harus diselesaikan pada setiap tahap perkembangan untuk mencapai pertumbuhan psikologis yang sehat. Berbeda dengan Sigmund Freud yang lebih berpusat pada dorongan biologis dan seksual, Erikson menekankan pentingnya faktor sosial dan interaksi dengan lingkungan dalam pembentukan kepribadian seseorang.

Erikson mengembangkan teori ini menjadi delapan tahap perkembangan yang mencakup seluruh rentang kehidupan, mulai dari bayi hingga usia lanjut. Setiap tahap ditandai oleh krisis atau konflik utama yang harus diatasi individu. Penyelesaian konflik ini berkontribusi pada pembentukan kualitas psikososial tertentu, seperti kepercayaan, otonomi, atau integritas. Namun, kegagalan untuk menyelesaikan konflik ini dapat menyebabkan masalah dalam perkembangan psikososial yang berlanjut ke tahap berikutnya.

-Tahap pertama adalah trust vs mistrust (kepercayaan vs ketidakpercayaan), yang terjadi pada tahun pertama kehidupan. Dalam tahap ini, bayi bergantung pada pengasuh utama untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, kehangatan, dan kenyamanan. Jika kebutuhan ini terpenuhi secara konsisten, bayi akan mengembangkan rasa percaya terhadap dunia dan orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, pengasuhan yang tidak memadai atau tidak konsisten dapat menyebabkan rasa ketidakpercayaan terhadap lingkungan.

-Tahap kedua adalah autonomy vs shame and doubt (otonomi vs rasa malu dan ragu), yang terjadi pada usia 1--3 tahun. Anak-anak mulai mengeksplorasi dunia dan mengembangkan kemandirian. Jika diberikan dukungan yang sesuai, mereka akan merasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk mengendalikan diri dan lingkungan. Namun, jika terlalu banyak pembatasan atau kritik, anak mungkin merasa malu atau ragu terhadap kemampuannya sendiri.

-Tahap ketiga adalah initiative vs guilt (inisiatif vs rasa bersalah), yang berlangsung pada usia 3--6 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai menunjukkan inisiatif dalam bermain dan belajar. Mereka mencoba untuk memulai kegiatan baru dan mengeksplorasi dunia di sekitar mereka. Jika upaya mereka didukung, mereka akan merasa termotivasi dan percaya diri. Sebaliknya, jika sering menerima kritik atau dilarang, mereka mungkin mengembangkan rasa bersalah.

-Tahap keempat adalah industry vs inferiority (kerajinan vs rasa rendah diri), yang terjadi pada usia sekolah dasar (6--12 tahun). Anak-anak mulai belajar keterampilan baru dan berusaha menjadi kompeten dalam tugas-tugas tertentu. Jika mereka berhasil, mereka akan merasa bangga dan termotivasi untuk terus belajar. Namun, jika gagal atau merasa tidak mampu dibandingkan dengan teman-temannya, mereka dapat mengembangkan rasa rendah diri.

-Tahap kelima adalah identity vs role confusio (identitas vs kebingungan peran), yang berlangsung selama masa remaja. Ini adalah tahap di mana individu mulai mencari identitas diri, mencoba memahami siapa mereka, nilai-nilai apa yang mereka anut, dan bagaimana mereka ingin berperan di dunia. Remaja yang berhasil menyelesaikan konflik ini akan mengembangkan identitas yang kuat, sementara yang gagal mungkin mengalami kebingungan dan ketidakpastian tentang tujuan hidup mereka.

Tahap keenam hingga kedelapan berfokus pada kehidupan dewasa hingga usia lanjut. Tahap-tahap ini meliputi intimacy vs isolation (intimasi vs isolasi) pada masa dewasa awal, generativity vs stagnation (generativitas vs stagnasi) pada masa dewasa tengah, dan integrity vs despair (integritas vs keputusasaan) pada usia lanjut. Setiap tahap ini melibatkan tantangan yang berkaitan dengan hubungan interpersonal, kontribusi kepada generasi berikutnya, dan refleksi terhadap kehidupan yang telah dijalani.

Secara keseluruhan, teori psikososial Erikson memberikan kerangka kerja yang kaya untuk memahami bagaimana manusia berkembang secara psikologis dan sosial sepanjang hidup mereka. Teori ini juga menyoroti pentingnya lingkungan sosial, pengalaman, dan hubungan interpersonal dalam membentuk identitas dan kesejahteraan seseorang.

 Contoh Kasus Penerapan Teori Psikososial Erik Erikson

Sebuah kasus yang relevan dengan teori psikososial Erik Erikson adalah peristiwa di Cimahi, di mana seorang ayah menyiksa dua anaknya, AH (10) dan AMN (12), yang mengakibatkan kematian AH. Motif kekerasan tersebut adalah dugaan pengambilan uang sebesar Rp450.000 oleh anak tanpa izin ayahnya. Dalam konteks teori Erikson, ayah tersebut berada pada tahap generativitas vs stagnasi, di mana individu diharapkan memberikan kontribusi positif kepada generasi berikutnya, seperti membesarkan anak dengan baik. Namun, tindakan kekerasan menunjukkan kegagalan dalam menyelesaikan krisis pada tahap ini, yang seharusnya ditandai dengan pengasuhan yang mendukung perkembangan anak secara sehat.

Kritik terhadap Teori Psikososial Erikson

Meskipun teori Erikson memberikan kerangka kerja yang komprehensif tentang perkembangan manusia, beberapa kritik telah diajukan, antara lain:

1. Sulit Diuji Secara Empiris: Beberapa konsep dalam teori ini dianggap abstrak dan sulit diukur atau diuji melalui penelitian empiris yang ketat

2.Pandangan yang Terlalu Optimis: Erikson dianggap memiliki pandangan yang terlalu positif tentang kemampuan individu untuk menyelesaikan setiap krisis perkembangan, tanpa mempertimbangkan kompleksitas dan variasi pengalaman manusia.

3.Penekanan pada Budaya Barat: Tahapan perkembangan yang diusulkan Erikson dianggap lebih relevan dengan budaya Barat dan mungkin tidak sepenuhnya berlaku untuk budaya lain dengan nilai dan struktur sosial yang berbeda.

4. Kurangnya Penjelasan tentang Mekanisme Transisi Antar Tahap: Teori ini kurang menjelaskan bagaimana individu berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam menyelesaikan setiap krisis.

Penerapan Teori Erikson dalam Pendidikan

Teori psikososial Erikson memiliki implikasi penting dalam bidang pendidikan. Memahami tahapan perkembangan psikososial dapat membantu pendidik menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan siswa. Misalnya, pada tahap industry vs inferiority (usia sekolah dasar), guru dapat mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan dan memberikan penghargaan atas pencapaian mereka, sehingga siswa merasa kompeten dan termotivasi. Sebaliknya, kegagalan dalam memberikan dukungan yang tepat dapat menyebabkan siswa merasa rendah diri dan kurang percaya diri.
RESEARCHGATE

Kesimpulan

Teori psikososial Erik Erikson menawarkan wawasan mendalam tentang perkembangan manusia melalui berbagai tahapan kehidupan. Meskipun menghadapi beberapa kritik, teori ini tetap menjadi landasan penting dalam memahami dinamika perkembangan psikososial dan penerapannya dalam berbagai konteks, termasuk pendidikan dan analisis kasus individual.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun