"Awas! Hati hati, Reano!" teriak Denis, sementara aku berpegangan erat kepada sebuah ranting di dinding jurang bebatuan yang dibawahnya lahar api yang sangat panas, mampu menghanguskan ku tanpa meninggalkan abu, sepertinya.Â
Sebelum kejadian itu, Aku dan Denis, pergi ke sekolah seperti biasanya. Namun ada yang berbeda dari hari biasanya, hari ini kami melewati jalan pintas yaitu lembah neraka, begitulah sebutannya, seperti jalan setapak dengan api, bukan, lebih seperti lava panas di kanan dan kirinya, yang menyala-nyala dan siap untuk melahap apa saja yang bersentuhan dengannya.Â
"Hei hati hati dengan ekormu, Reano" ucap Denis sesaat sebelum Aku menyadari kalau ekorku hampir saja terlahap api.Â
"Ouch! hampir saja, untung saja kau selalu mengingatkan ku" kata ku berterima kasih.Â
Denis hanya memutar bola matanya, malas untuk menanggapi.Â
Kami terus berjalan melewati mata air, airnya jernih dan berwarna biru serta ditumbuhi bunga teratai, pemandangan yang sangat aneh, mengingat tempat ini adalah lembah neraka. "Ini aneh, kenapa ada mata air disini?" tanyaku.Â
"Menurutmu? Aku sendiri juga baru pertama kali lewat sini" Denis menjawab pertanyaanku dengan malas.Â
"Apa?! Yang benar saja?! Kau mengajakku untuk lewat jalan pintas yang kau sendiri saja tidak pernah lewat?" tanyaku terkejut.Â
"Tenang saja, Reano. Kita hanya perlu mengikuti jalan setapak ini, lalu kita akan sampai di sekolah lebih cepat, begitulah katanya" Denis menanggapi.Â
"Kata siapa?" tanyaku lagi.Â
"Kata ayahku" Denis menjawab lagi.Â