Interseksionalitas dalam Kajian GenderÂ
Konsep Interseksionalisme merupakan suatu konsep yang berbicara mengenai bagaimana sebuah identitas termarjinalkan seseorang bisa melakukan interaksi dengan sejumlah identitas lainnya, dengan demikian menciptakan suatu penyiksaan yang lebih dalam. Dalam sejarahnya interseksionalisme yakni dicetuskan oleh Kimberl Crenshaw pada tahun 1980-an dengan dasar adanya diskriminasi yang terjadi oleh para perempuan yang memiliki kulit hitam dalam bidang pekerjaan.Â
Perusahaan General Motors, pada saat itu hanya mempekerjakan pria berkulit hitam serta perempuan berkulit putih sedangkan perempuan yang memiliki kulit hitam tidak dianggap. Perempuan berkulit hitam tersebut menjadi target dalam diskriminasi yang berada pada interseksionalisme karena identitas gender serta rasnya dengan demikian tingkat ketidaksetaraan yang terjadi lebih buruk.Â
Menurut Crenshaw (1989) menyatakan bahwa berdasarkan teoritis diskriminasi yang terjadi oleh wanita yang memiliki kulit hitam terhapus disebabkan karena ras serta gender yang dinilai sebagai dua identitas independen yang tidak saling tumpang tindih  (Devi, 2022).
Mohanty (1984), seorang akademisi feminis asal India yang menjadi profesor di Amerika Serikat mengungkapkan: "Yang ingin saya analisis secara khusus adalah produksi "Perempuan Dunia Ketiga" sebagai subjek monolitik tunggal dalam beberapa teks feminis (Barat) baru-baru ini." Dalam menguatkan pandangan tersebut Carastathis tahun 2014 mengatakan bahwa interseksionalismee menjadi suatu cara untuk menngkonseptualisasikan hubungan antara sistem-sistem operasi yang membangun identitas kita yang memiliki sifat multipel serta juga letak sosial kita yang berada di dalam  sebuah hierarki otoritas serta privilese.Â
Perspektif interseksional memunculkan pertanyaan tentang hubungan atau interaksi di antara karakteristik yang berbeda ini. Intersectionality menyatakan bahwa sifat dan identitas yang berbeda, yaitu ras, kelas dan gender, bukanlah kategori analitik independen yang dapat dengan mudah ditambahkan satu sama lain tetapi lebih merupakan lingkungan satu sama lain, dan harus dipelajari sebagai keseluruhan yang sinergis. Crenshaw dan Mohanty bersepakat bahwa perempuan mempunyai perbedaan nasib dalam batas-batas sosial, politik, geografis dan sejarah.Â
Perempuan kulit putih tidak memiliki nasib yang sama dengan perempuan kulit hitam, bahkan laki-laki yang memiliki kulit hitam pun belum tentu akan mendapatkan nasib yang sama dengan perempuan kulit putih di dalam suatu kawasan yang memberlakukan sistem apartheid  (Nayati, 2021).  Â
Konsep Interseksionalisme juga bisa digunaakan untuk dapat lebih menganalisis mengenai penindasan yang terjadi oleh sejumlah jenis identitas yang termarjinalkan misalnya, perempuan, Transgender, anggota komunitas LBGT, Biosexual, serta orientasi dan identitas seksual yang lan. Black, Indigenous, and people of color (BIPOC) merupakan istilah yang digunakan bagi orang-orang yang tidak memiliki kulit putih, kelas sosial, serta sejumlah kategori sosial lainnya.Â
Dalam perspektif neomarxisme memandang konsep interseksionalisme dengan menggunakan 2 proposisi dalam persepktif tersebut yaitu empire serta gramsianisme karena terdapat keselarasan interseksionalitas dengan multitude dalam melawan empire yang merupakan sebuah hasil dari hegemoni institusional.Â
Kemudian proporsi tersebut relevan dengan perjuangan aktivis interseksional di dalam memperjuangkan keadaan interseksionalitas dengan gramsianisme dan empire. Konsep Interseksionalisme merupakan suatu konsep yang berbicara mengenai bagaimana sebuah identitas yang termarjinalkan seseorang bisa melakukan interaksi dengan sejumlah identitas lainnya, dengan demikian mewujudukan penindasan yang lebih dalam (Devi, 2022). Â
Metode analisa Interseksionalime banyak disukai oleh kalangan aktivis dengan demikian melahirkan aktivisme interseksional. Aktivisme interseksional sendiri bisa diartikan sebagai suatu pengorganisasian yang menjelaskan lebih dari satu strukur penindasan dalam usaha untuk menuntuk sebuah keadilan sosial. Sehingga dalam hal ini fenomena interseksionalisme memunculkan trend baru di dalam duia aktivisme fenomena peningkatakan sejumlah aktivisme interseksional merupakan bentuk dari ketidakpuasan terhadap kondisidunia yang eksploitatif atas beberapa identitas-identitas yang tertindas.Â
Proporsi hegemoni gramsianis memengatakan bahwa kelas borjuis menjunjung tinggi hegemoni dengan melalui sejumlah institusi ekonomi, politk, dan sosial yang dimiliknya dalam usaha menindas kelas porletar. Sehingga hal ini relevan dengan hegemoni yang dilakukan oleh kaum borjuis interseksionalisme yang memakai sejumlah institusi tersebut sebagai alat untuk melakukan penindasan.Â
Kondisi hegemoni yang terdiri dari ketidaksetaraan serta penindasan oleh institusional serta dilanjutkan dengan kelompok borjuis yang merupakan bentuk dari empire, sehingga muncul gerakan-gerakan yang menggunakan konsep interseksional yang berusaha untuk membangun aliansi-aliansi antara isu sosial yang diangkat oleh aktivisme tersebut (Devi, 2022). Â
Di dalam perkembangannya, interseksionalitas tidak hanya membahas gender serta kategori sosial yang lain, misalnya agama, pendidikan, entitas, kelas sosial, serta pendidikan. Di dalam gender tersebut terjadi sejumlah proses interseksi. Di dalam tulisan yang ditulis oleh Gilang Nur Gemilang dengan judul  "Princess Masculin: Mulan dan Merida" tulisan tersebut menjelaskan interseksionalitas di dalam gender tersebut.Â
Seorang diri  secara identitas tergolong di dalam konsep feminim dan maskulin yang menjadi nilai pokok pada semua individu, tidak secara paralel diterapkan oleh individu berdasarkan harapan sosialnya.  Pengadopsian nilai-nilai maskulin oleh perempuan atau nilai-nilai feminim oleh laki-laki merupakan  suatu bentuk interseksionalitas yang tidak merupakan hal yang baru pada kehidupan sosial (Nayati, 2021).Â
Disadari bahwa perempuan kulit hitam dan kulit putih mungkin mengalami kondisi kemiskinan yang  berbeda atau bahwa laki-laki kulit berwarna mungkin memiliki arti yang berbeda dengan status sosial ekonomi mereka daripada laki-laki kulit putih, dan seterusnya. Pada tingkat institusional-makro kita tahu bahwa ras atau etnis, kelas dan gender secara statistik terkait; lebih banyak wanita kulit hitam yang miskin daripada wanita kulit putih; sangat sedikit anak dari kelas bawah yang mungkin memperoleh pendidikan tinggi, dll. Namun, kita hanya tahu sedikit tentang hubungan dan dinamika pada tiga basis utama diskriminasi gender, etnis, dan kelas seperti yang dialami oleh individu-individu yang menduduki strata bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Devi, D. N. (2022). Analisis Interseksionalitas dalam Aktivisme di Abad ke-21 Menurut Perspektif Neomarxisme. Universitas Airlangga, Surabaya , 1-6.
Nayati, W. U. (2021). Interseksi Gender : Perspektif Multidimensional Terhadap Diri Tubuh dan Seksualitas dalam Kajian Sastra. Gadjah Mada University Press , 1-13.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H