Mohon tunggu...
Zahrotustianah Zee
Zahrotustianah Zee Mohon Tunggu... -

i dream my paint and i paint my dream

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Krisis Moral, Salah Siapa?

21 September 2011   11:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:45 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit, saya ingin ikut berkomentar tentang kasus bentrok pelajar SMA 6 Jakarta dengan para awak media yang saat ini ramai diperbincangkan. Menarik bagi saya, karena pelaku kekerasan masih berpredikat pelajar. Bukan hanya karena usia yang masih belia dan kerap kali sering dibilang masih “bau kencur”, tapi juga menyinggung aspek –aspek lain yang lebih mendasar, soal moral para tunas bangsa kita. Mengutip komentar ibu saya, “Songong. Mau jadi apa anak jaman sekarang…ckckck…”

Beberapa teman kampus yang memang kalau boleh saya bilang sudah termasuk ke dalam insan pers menggebu-gebu mengecam aksi premanisme yang dilakukan para pelajar tersubut. Bukan hanya di status-status jejaring sosial, tapi juga di diskusi-diskusi kecil tanpa cemilan.

Tindakan anarkis dalam bentuk apa pun dan oleh siapa pun memang tidak dapat dibenarkan. Aksi premanisme yang dilakukan para pelajar mengusik sistem pendidikan moral bangsa kita. Aksi tawuran sepertinya bukan lagi menjadi hal yang tabu bahkan seolah mengakar menjadi budaya dan tren di kalangan pelajar. Nggak keren kalau nggak tawuran, nggak asik kalau ngggak berantem. Miris, karena idealnya pelajar ya belajar. Pelajar itu tunas bangsa, masa depan bangsa kita ada di tunas bangsa. Bukankah itu yang dari SD sering kita dengar di pidato pemimpin upacara tiap hari Senin?

Pihak sekolah atas kasus ini menjadi pihak yang dirasa paling bertanggungjawab, karena lokasi kejadian masih di lingkungan sekolah. Pihak sekolah pun dituding tidak memenuhi kewajiban dalam mendidik moral para pelajarnya. Namun, apakah memang demikian? Setidaknya hanya 8 dari 24 jam setiap harinya yang dihabiskan pelajar di sekolah. Keluar dari gerbang sekolah, pihak sekolah sudah tidak bisa mengawasi para pelajar secara penuh. Jika begini, bukankah keluarga menjadi sekolah moral yang paling utama? Atau lingkungan sosial, tempat para pelajar berinteraksi dan bergaul dengan banyak orang lainnya?

Terlepas dari itu semua, tidak sedikit pelajar SMA 6 Jakarta yang tidak tahu menahu duduk persoalannya. Tidak sedikit dari mereka yang mengeluh atas ketidaknyamanan pasca bentrok yang terjadi kemarin. Banyaknya media yang ingin meliput suasana sekolah, atau polisi yang ditugaskan menjaga ketat lingkungan sekolah. Pemberitaan kasus ini di media massa pun mendapat proporsi yang tidak sedikit. Publik dibawa pada kenyataan bahwa aksi ini dilakukan para pelajar, pelajar SMA 6 Jakarta, SMA yang kalau tidak salah termasuk ke dalam sekolah unggulan di Jakarta.

Banyak pihak yang menyayangkan dan pada akhirnya kasus ini seolah menjadikan institusi SMA 6 itu sendiri sebagai pelakunya.Padahal, mungkin hanya beberapa pelajar saja yang terlibat. Imbasnya, pihak sekolah meliburkan semua muridnya selama 5 hari di saat ulangan di depan mata. BIla begini, siapa yang harus disalahkan? Kita memang tidak pernah menyetujui tindak kekerasan oleh siapapun dan terhadap siapa pun. Tapi lebih arif, jika kita juga memikirkan nasib para pelajar yang secara tidak langsung kehilangan sebagian haknya dalam memperoleh pendidikan yang layak dan nyaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun