Mohon tunggu...
Zee. L
Zee. L Mohon Tunggu... Guru - Saya hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta yang sangat menggemari karya fiksi

Berbicara melalui tulisan lebih memberikan makna dari apa yang lisan ucapkan yang kadang bermaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang

19 April 2020   20:24 Diperbarui: 19 April 2020   20:42 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku pulang. Setelah sekian lama aku berjalan, aku pulang. Ku tatap wajah-wajah sendu yang menanti kepulanganku. Ku tatap ibu yang juga menatapku sembari sesekali menyeka air mata nya. Aku mendekat hendak memeluknya, namun ibu menghindar dengan air mata yang semakin deras. Bisa ku tebak, ibu pasti terharu. Sebahagia itu kah ibu menyambut kepulanganku?

Aku beralih pada Ilyas, laki-laki yang sebulan lagi akan mengucapkan Akad di depan penghulu dengan menyebutkan namaku. Wajah lelahnya menjelaskan jika semalaman pasti dia tidak tidur dengan nyenyak karna menungguku.

“Selamat datang kembali, dirumah. Istirahatlah. Aku tahu kau lelah.” Ucapnya dengan suara lirih.

Aku mengangguk sembari tersenyum ke arahnya. Dia memang sosok yang pengertian, bahkan sejak awal kami berkenalan.

Hari ini rumahku ramai sekali. Beberapa sanak saudara datang, juga para tetangga yang turut menyambutku pulang. Sebagai orang yang hidup di Desa, memang sudah lumrahnya para tetangga turut membantu tentangga lainnya yang memiliki perlu. Kami sudah terbiasa saling membantu, bergotong royong, menyumbangkan harta ataupun tenaga. Meski terkadang perdebatan antar tetangga juga tak dapat di hindarkan.

“Akhirnya kau pulang, nak.” Kali ini Ayahku, laki-laki yang yang selama ini selalu mendedikasikan hidupnya untuk keluarga. Bagiku dia adalah cinta pertama. Pahlawan yang selalu siap menyeka air mata, lalu membuatku tertawa.

“Iya ayah. Kan bulan depan aku akan menikah.” Ucapku pada ayah dengan mata berbinar.

Ku lihat ayah mengulas senyum khas nya. Ah, betapa aku beruntung di lahirkan sebagai anak nya. Ayah menggenggam tanganku erat, ia mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya yang kasar. Mungkin sidik jarinya sudah rusak, sebab kerja kerasnya untuk menghidupi kami.

“Kamu istirahat ya nak, kau pasti sangat lelah.” Ayah melepaskan genggaman tangannya.

Aku menggeleng kuat. Kenapa mereka memintaku untuk beristarahat? Aku tidak lelah sama sekali! Apa mereka tidak tahu betapa bahagianya aku hari ini?

“Aku sama sekali tidak lelah ayah! Aku ingin menikmati kepulanganku kali ini.” Bantahku dengan suara manja. Biasanya ayah hanya akan terkekeh jika aku merengek dengan suara manja padanya. Tidak malu sama umur, katanya.

Beberapa tetangga sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Beberapa sanak saudara memilih istirahat di tempat terpisah. Ada yang di kamar ibu, di ruang tamu, bahkan ada yang sedang menyusui anaknya di kamarku. Ah, lihat! Betapa menggemaskannya anak dari sepupuku itu.

Lamat-lamat ku dengar suara Ilyas melantunkan ayat-ayat suci. Suara merdunya itu mampu membuat sejuk hati. Sesekali aku mendengar isakan di sela-sela lantunannya. Aku bisa mengerti, calon suamiku itu memang sering menangis saat mengaji. Aku memutuskan untuk tak mengganggunya, dan menunggu saja.

Setelah selesai mengaji, laki-laki bergigi gingsul itu mendekatiku. Jarak yang tak terlalu dekat tentunya. Meski akan menikah, tapi kami berdua tahu batasan.

“Terimakasih Naina, karna dulu kau mau menerima pinanganku.” Ilyas berucap dengan menatap jari-jemarinya yang saling bertautan. Ia memang selalu menjaga pandangan.

“Awalnya, ku pikir kau akan menolak. Karna usiaku yang lebih muda darimu.” Sambungnya kemudian.

Aku tersenyum menahan tawa. Dia dan pola pikirnya itu, sama sekali tidak terlihat bahwa usianya lebih muda.

“Ku rasa tak ada alasanku untuk menolakmu. Kau laki-laki yang sangat baik, yas.”

Siang itu, cuaca panas sekali. Namun meskipun matahari sangat terik, angin bertiup cukup kencang. Lumayan menyegarkan tubuh yang berkeringat. Aku memutuskan untuk berkeliling rumah. Rumah yang selama dua puluh tujuh tahun ini mejadi tempatku tumbuh, tertawa, menangis dan merajuk. Aku berjalan ke arah kamar ibu. Aku mendengar suara isak tangis dan beberapa orang yang mencoba menenangkan ibu.

“Ibu kenapa menangis?” Aku bergegas mendekati ibu. Semuanya diam, ibupun sudah tidak menangis lagi. Hanya sesekali sesegukkan bekas tangisnya.

“Ku mohon, jangan menangis bu. Aku tidak kuat melihat ibu bersedih.” Aku berusaha menghapus jejak-jejak air mata di pipinya yang mulai berkerut.

“Anakku, anak gadisku satu-satunya. Naina.” Ibu menatap ke arahku dengan tatapan sendu. Mata itu selalu jadi favoritku. Tatapan penuh kasih yang sangat menenangkan di kala gundah.

“Ya ibu. Aku anak ibu, selamanya tetap anak ibu.”

“Akhirnya tiba saatnya ibu harus melepaskanmu. Ibu sadar, kamu hanyalah titipan.” Aku menatap sendu wanita yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkanku itu.

“Kan pernikahanku baru sebulan lagi. Sebelum itu, aku bisa menghabiskan waktu sepuasnya bersama ibu.” Ucapku mencoba menenangkannya.

Raut wajahnya semakin mendung. Padahal cuaca di luar cerah sekali. Ibuku bangkit denga di bantu oleh uwak, kakak kandung ibu. aku mengikuti mereka berjalan kea rah ruang tengah. Ibu duduk kembali, ia mengusap wajahku, mengelus rambutku sayang. Menggenggam tanganku erat, lalu mendekapnya.

“Ada apa dengan kalian hari ini? Kenapa semuanya memasang wajah sedih? Aku kan sudah disini! Aku sudah di rumah.” Aku bertanya pada ibu yang masih mendekap tanganku, pada ayah yang menatapku dalam, pada Ilyas yang sibuk memandangi jemari tangannya yang saling bertautan.

“Naina!” Aku menoleh pada suara yang memanggilku.

Aku mendekat ke arahnya, mencoba mengenali wajahnya, namun tak bisa. Aku tak bisa melihat wajahnya. Sosok itu bertubuh tinggi, tegap dan sangat menyilaukan.

“Ayo pulang.” Ajaknya padaku.

“Pulang?” Tanyaku bingung. “Pulang kemana? Aku tidak akan kemana-mana! Disini rumahku!” Aku menolaknya keras.

Lalu aku menoleh pada ibu yang berteriak histeris. Dengan dibantu oleh uwak dan beberapa tetangga lainnya, ibu menjauh dari tubuhku. Ayah mundur beberapa langkah, begitupun dengan Ilyas, calon suamiku. Aku melihat beberapa wanita mengerubungi tubuhku. Mereka memakaikanku beberapa helai kain. Pakaian yang memperjelas kondisi saat ini.

“Waktumu sudah habis. Mari pulang, ke rumahmu yang sesungguhnya.” Sosok itu lagi-lagi mencoba untuk membawaku pergi.

Aku menangis tergugu. Sanggupkah aku meninggalkan ayah dan ibuku? Merelakan mimpiku membangun keluarga bersama dengan pria yang dua bulan lalu meminangku? Aku menatap pilu pada tubuhku yang sudah terbaring dengan di iringi lantunan doa-doa dari para sanak-saudara dan tetangga. Tak ada yang bisa ku bawa. Tidak penghargaan-penghargaan yang ku kumpulkan selama di sekolah, tidak juga harta benda yang dapatkan dari hasil kerja keras.

“Hanya perbuatan baik dan ibadahmu yang akan menjadi temanmu.” Ujar sosok itu mengingatkan.

“Tapi aku belum sempat membahagiakan orang tuaku!” sekuat mungkin aku mencoba menyangkal.

“Tidak! Waktumu benar-benar telah habis.”

Aku kembali menatap ke arah ibu yang masih histeris. Sebentar tak sadarkan diri, lalu menangis lagi. Sedangkan ayah, mencoba tetap tegar dan tak mengeluarkan air mata. Tapi ku yakin ia juga merasa kehilangan. Toh aku putri ayah satu-satunya. Pun dengan Ilyas, laki-laki yang rencananya akan menjadi suamiku bulan depan. Ia terus melantunkan ayat-ayat suci dengan irama yang menenangkan. Rupanya rencana kami belum di restui Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun