Mohon tunggu...
Zee. L
Zee. L Mohon Tunggu... Guru - Saya hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta yang sangat menggemari karya fiksi

Berbicara melalui tulisan lebih memberikan makna dari apa yang lisan ucapkan yang kadang bermaya

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Nyanyian Lagu Pertiwi

1 April 2015   11:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:41 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini masih tentang seribu tanya di kepala-kepala mereka

Sesekali di antara mereka merapat saling mendekap

Tak ada satupun yang berucap

Bungkam, bisu namun mata jelas terlihat seperti melukiskan kepahitan

Siapa yang akan di salahkan?

Beberapa orang berdasi hanya pandai berucap simpati lalu pergi

Ini masih tentang seribu makna dalam deru

Salah satu dari mereka lalu berkata perih:

Kemana lagi kami pergi? Kemana lagi kami bernyanyi?

Kolong-kolong telah kami tapaki

Parit-parit telah kami rayapi sampai ke tepi

Kemana lagi kami mencuri roti untuk perut kami yang tak terisi?

Mereka berenang dalam banjir yang telah menjadi taman bermain

Menghirup kotor asap-asap beracun

Bersorak-sorai tanpa perduli bagaimana agar perut terisi

Dengan kepala mengadah, menatap gedung-gedung tinggi

Mereka mulai bermimpi, sambil berpuisi:

Wahai nisan-nisan parah pahlawan

Inikah yang kalian wariskan? Darah di bayar kekecewaan

Kematian di bayar penghianatan

Cinta dan ketulusan telah terkalahkan dengan uang recehan

Kau harapkan kekokohan, tapi kami telah hancur

Kau harapkan kemenangan, tapi kami kalah semenjak kau tinggalkan

Kami jual harga diri negeri

Tidak..bukan kami, karena kami tidak berdasi

Lalu jemari mereka mulai menari-nari melukis elegi

Dalam pikiran, dalam bayangan warna-warni negeri ini

Masih melekat dongeng-dongeng para veteran renta

Teringat jelas senapan-senapan jaddah berada di kepala

Ini masih tentang meregang nyawa

Tapi cinta mereka takkan terbeli meski harus mati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun