Ini masih tentang seribu tanya di kepala-kepala mereka
Sesekali di antara mereka merapat saling mendekap
Tak ada satupun yang berucap
Bungkam, bisu namun mata jelas terlihat seperti melukiskan kepahitan
Siapa yang akan di salahkan?
Beberapa orang berdasi hanya pandai berucap simpati lalu pergi
Ini masih tentang seribu makna dalam deru
Salah satu dari mereka lalu berkata perih:
Kemana lagi kami pergi? Kemana lagi kami bernyanyi?
Kolong-kolong telah kami tapaki
Parit-parit telah kami rayapi sampai ke tepi
Kemana lagi kami mencuri roti untuk perut kami yang tak terisi?
Mereka berenang dalam banjir yang telah menjadi taman bermain
Menghirup kotor asap-asap beracun
Bersorak-sorai tanpa perduli bagaimana agar perut terisi
Dengan kepala mengadah, menatap gedung-gedung tinggi
Mereka mulai bermimpi, sambil berpuisi:
Wahai nisan-nisan parah pahlawan
Inikah yang kalian wariskan? Darah di bayar kekecewaan
Kematian di bayar penghianatan
Cinta dan ketulusan telah terkalahkan dengan uang recehan
Kau harapkan kekokohan, tapi kami telah hancur
Kau harapkan kemenangan, tapi kami kalah semenjak kau tinggalkan
Kami jual harga diri negeri
Tidak..bukan kami, karena kami tidak berdasi
Lalu jemari mereka mulai menari-nari melukis elegi
Dalam pikiran, dalam bayangan warna-warni negeri ini
Masih melekat dongeng-dongeng para veteran renta
Teringat jelas senapan-senapan jaddah berada di kepala
Ini masih tentang meregang nyawa
Tapi cinta mereka takkan terbeli meski harus mati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H