Islam, bangsa Arab di semenanjung Arab hidup dalam masyarakat yang penuh dengan tradisi kesukuan, kepercayaan lokal, dan ketegangan sosial. Banyak literatur dan sumber sejarah menggambarkan kondisi masyarakat Arab pada masa tersebut sebagai masyarakat yang cenderung tertutup terhadap perubahan, dan hal ini berdampak pada pola pikir dan mentalitas mereka yang konservatif. Sebelum kedatangan
Tulisan ini akan menguraikan bagaimana cara berpikir dan watak orang Arab sebelum kedatangan Islam, serta bagaimana hal ini mempengaruhi struktur sosial dan peradaban mereka. Tulisan ini disadur dari buku Al-Madhahib A-Sfiyyah wa Madrisuh.
Mentalitas Kolot dan Penolakan Terhadap Gagasan Baru
Bangsa Arab pra-Islam, atau yang sering disebut sebagai zaman Jahiliyah, memiliki pola pikir yang sangat terikat pada tradisi dan adat istiadat turun-temurun. Mereka merasa sangat nyaman dengan nilai-nilai dan praktik lama yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Pemikiran baru, terutama yang dianggap bertentangan dengan tradisi yang ada, sering kali ditolak tanpa diskusi lebih lanjut.
 Seolah-olah, apa yang telah ada sejak dulu harus dipertahankan tanpa perlu dipertanyakan. Penolakan terhadap gagasan baru ini sangat kuat karena mereka merasa bahwa perubahan dapat menggoyahkan tatanan sosial yang sudah mapan.
Kondisi semacam ini membuat masyarakat Arab pra-Islam terjebak dalam siklus stagnasi intelektual. Mereka enggan untuk membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, baik itu dari bangsa Persia maupun Romawi, yang pada masa itu sudah mencapai tingkat peradaban yang lebih maju.Â
Sebagaimana yang disebutkan dalam buku Al-Madhahib A-Sfiyyah wa Madrisuh, kesederhanaan berpikir mereka membuat ide-ide kompleks sulit untuk diterima. Bahkan gagasan-gagasan tentang kemajuan sosial, politik, atau budaya yang lebih maju sering kali dianggap sebagai ancaman daripada peluang.
Kehidupan Sosial yang Terpecah dan Perang Antar Suku
Satu aspek penting yang juga membentuk watak orang Arab pada masa itu adalah kondisi sosial mereka yang sangat terpecah. Masyarakat Arab pra-Islam terdiri dari berbagai suku yang terpisah-pisah, masing-masing dengan kebanggaan dan identitas sukunya sendiri. Suku-suku ini sering kali terlibat dalam persaingan yang tidak sehat dan konflik berdarah untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas.
 Perang antar suku menjadi bagian yang tak terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Setiap suku berusaha untuk menunjukkan dominasinya, dan persatuan di antara mereka nyaris mustahil dicapai.
Situasi ini menciptakan pola pikir yang sangat sempit dan eksklusif. Orang Arab cenderung melihat dunia hanya dalam konteks suku mereka sendiri, dan mereka enggan untuk bekerja sama dengan suku lain kecuali jika ada ancaman eksternal yang lebih besar.Â