Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menghadapi Megalomania, Seni Tetap Tenang di Tengah Ego yang Menggunung

10 Oktober 2024   19:05 Diperbarui: 10 Oktober 2024   19:14 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada tipe-tipe orang yang, dari luar, terlihat seperti memiliki pengaruh besar. Mereka tampil percaya diri, seakan dunia ini berputar hanya untuk mereka. Apa pun yang mereka katakan atau lakukan, harus diakui dan dihargai. 

Kalau ada yang berani berbeda pendapat, ya siap-siap saja dianggap 'kurang paham' atau bahkan dipandang rendah.

 Di sinilah muncul istilah megalomania -- kondisi di mana seseorang merasa punya kekuasaan atau pengaruh luar biasa, padahal realitanya mungkin tidak sefantastis itu.

Nah, saya kebetulan punya beberapa teman yang modelnya begitu. Rasanya seperti hidup di sekitarnya itu harus selalu tunduk pada apa yang mereka pikir benar. Mereka sering merasa di atas orang lain, seakan opini mereka adalah wahyu yang tak boleh ditentang. 

Semacam raja dalam dunianya sendiri yang suka mengatur, menilai, dan meremehkan. Setiap diskusi jadi ajang pembuktian betapa superiornya mereka dibanding orang lain. Kalau saya bisa jujur, sih, seringkali saya cuma mikir, "Yah, biarin aja deh, mungkin dia lagi cari panggung."

Sikap saya menghadapi orang-orang seperti ini? Sederhana saja. Dengarkan mereka bicara, ya biar mereka merasa senang. Toh, buat saya, kadang lebih mudah mengiyakan sambil tersenyum daripada harus terlibat dalam debat yang gak akan ada habisnya. 

Sering saya menganggap ini bagian dari prinsip idkhalussurur, yaitu memberikan kebahagiaan pada orang lain -- walau kebahagiaan itu berasal dari merasa paling benar sendiri. 

Anggap aja, mereka lagi pentas, dan saya cukup jadi penonton sambil manggut-manggut. Karena buat apa? Hidup terlalu pendek untuk dihabiskan meladeni ego berlebihan orang lain.

Tapi, ada kalanya, ketika situasi sudah mulai bikin lelah mental, saya punya strategi lain: "Wes wayahe," artinya "Sudah waktunya pergi." Kalau diskusinya udah berubah jadi monolog superior tanpa arah, saya tinggal angkat kaki. 

Dengan sopan tentunya, tapi cukup tegas. Mungkin sambil bilang, "Maaf, ada urusan," atau "Wah, udah sore nih, saya harus pulang." Habis perkara. 

Karena bagaimanapun, menjaga kesehatan jiwa juga penting, dan saya lebih suka membatasi interaksi dengan orang-orang yang hanya membawa energi negatif.

Lucunya, kalau kita berpikir lebih jauh, orang-orang dengan megalomania ini sering kali tidak sadar bahwa mereka terlalu fokus pada diri sendiri. Mereka cenderung sibuk menciptakan dunia di mana hanya mereka yang paling hebat, paling tahu, dan paling pantas diakui. 

Padahal, di balik semua sikap sok hebat itu, kadang terselip insecurity yang besar -- takut kalau ternyata pendapat mereka biasa saja, atau lebih parah, tidak didengarkan. 

Jadi, dalam konteks ini, ketika kita mendengarkan mereka, kita sebenarnya sedang menenangkan kegelisahan mereka, meski mereka sendiri tidak menyadarinya.

Ada juga hal lain yang saya pelajari dari menghadapi orang seperti ini: kesabaran. Menghadapi orang yang punya rasa superioritas berlebihan membutuhkan level kesabaran ekstra. 

Tapi, kalau kita bisa tetap tenang, mendengarkan tanpa merasa harus terlibat terlalu dalam, kita justru jadi lebih dewasa. 

Tidak semua pertempuran harus kita menangkan. Kadang, dengan membiarkan orang lain merasa menang, kita justru memenangkan pertempuran yang lebih penting -- menjaga kedamaian hati.

Namun, bukan berarti kita harus selalu mengalah atau tunduk pada orang seperti ini. Jika sudah keterlaluan, apalagi sampai merendahkan orang lain dengan terang-terangan, tentu perlu ada batas. 

Menghadapi megalomaniak, kita harus tahu kapan waktunya mundur dan kapan waktunya menegur dengan tegas. Karena bagaimanapun, kita tidak boleh membiarkan orang-orang dengan sikap arogan terus menerus menyakiti atau meremehkan orang lain.

Pada akhirnya, setiap orang punya cara masing-masing dalam menghadapi megalomaniak di sekitarnya. Saya memilih pendekatan yang lebih santai: dengarkan mereka bicara, kalau capek ya tinggal pergi. Karena buat apa memperpanjang situasi yang tidak memberikan manfaat? 

Saya lebih memilih menjaga kesehatan mental dan ketenangan jiwa, daripada harus selalu meladeni orang yang merasa dunia berputar hanya untuk mereka.

Dan untuk mereka yang hidup dengan mentalitas megalomania? Yah, semoga suatu hari mereka sadar bahwa dunia ini lebih besar dari sekadar ego mereka. Kita semua hanya bagian kecil dari semesta yang luas. 

Dan tidak peduli seberapa besar mereka merasa berpengaruh, pada akhirnya, kita semua sama-sama punya tempat di bawah langit yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun