Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kejutan di Pantai Parangtritis: dari Delman sampai Eljibiti yang Menakjubkan

25 Juni 2024   20:37 Diperbarui: 25 Juni 2024   21:07 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berpose dengan Budhe Shof dan Ustadz Dahlan. Dok. Pri

Setelah melaksanakan shalat subuh berjamaah yang menyegarkan jiwa, kami melanjutkan hari dengan sarapan bersama rombongan di sebuah rumah makan yang sudah ditentukan. Menu sarapan pagi ini cukup mewah dan mengenyangkan.

Meski begitu, saya memilih untuk makan sedikit, mempertimbangkan masih ada perjalanan yang harus dilanjutkan. Ribet banget jika harus menahan buang air besar saat bus sedang melaju di jalanan.

Sambil menikmati sarapan, kami berbagi meja dengan sahabat lama saya, yang kebetulan juga bernama Zainuddin, sama seperti saya. Kami pernah mondok bersama di Tebuireng, dulu. Saya dari Pulau Singkep, Kepulauan Riau, sedangkan dia asal Pulau Madura.

Saat ini, Zainuddin bekerja sebagai pengajar dan juga aktif berkhidmat di Tebuireng Initiative, media yang diasuh oleh Gus Ipang, putra dari Gus Solah, kyai kami.

Kesempatan ini benar-benar menjadi momen nostalgia dan pembaharuan ikatan persahabatan. Kami berbagi cerita dan tertawa, mengenang masa-masa saat masih mondok, berdiskusi ringan tentang kehidupan dan tanggung jawab yang kini kami pikul, sambil sesekali menyantap hidangan di hadapan kami.

Petualangan Zavi di Pantai Parangtritis

Selesai sarapan, semangat kami kembali terpompa untuk melanjutkan petualangan. Tujuan berikutnya adalah pantai, yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari tempat parkir bus. Zavi, anak kami, tampak sangat antusias. Selama perjalanan menuju pantai, Zavi saya gendong, dan terlihat menoleh ke kiri dan ke kanan kegirangan.

Beberapa hari sebelumnya, istri sudah mengutarakan keinginannya untuk naik Jeep di pantai, "Ba, nanti kalau di pantai, kita naik Jeep yah. Bisa kan bawa anak kecil?" Saya sempat ragu, mengingat pengalaman terakhir naik Jeep di Pantai Cemoro Sewu yang cukup ekstrem, dengan supir yang ugal-ugalan.

"Agak bahaya sih karena waktu Aba nyobain naik Jeep pas ke pantai Cemoro Sewu kemarin, supirnya ugal-ugalan. Tapi memang itulah pelayanan yang diberikan. Supir-supir Jeep itu ingin memberikan pengalaman kepada clientnya untuk merasakan sensasi naik mobil offroad dengan medan pasir pantai. Seru memang," jelas saya.

Istri tampak sedikit kecewa, "Yah, jadi ga bisa dong naik Jeep bawa Zavi?" Saya mencoba menenangkan dan memberikan solusi, "Tenang aja, kan bisa request biar jalannya pelan-pelan aja.

Semua kan tergantung permintaan klien. Yang penting kita bayar," ujar saya mencoba meyakinkannya. Istri akhirnya merasa lebih baik, "Iya juga ya. Oke deh," sahutnya sambil kembali sibuk dengan persiapan sebelum kami berangkat ke liburan.

Perjalanan singkat menuju pantai itu kami lalui dengan riang. Udara segar pagi dan suara ombak yang bergemuruh menambah semangat kami. Zavi, dengan matanya yang berbinar, tampak tak sabar untuk merasakan pasir di antara jari-jarinya dan mendengar suara-suara alam yang baru baginya.

Mengarungi Pantai Dengan Delman

Setelah berjalan singkat dari area parkir, kami tiba di pantai Parangtritis. Saya sempat mengira bahwa pantai akan sepi karena masih cukup pagi, namun kenyataannya, pantai sudah dipenuhi oleh pengunjung.

Rupanya, saya lupa bahwa saat ini sedang musim liburan sekolah. "Ah tapi tidak masalah, yang penting liburan," gumam saya dalam hati, menerima kenyataan dengan senyum.

Istri dengan inisiatifnya yang selalu tepat, segera menyewa tikar lengkap dengan payung sebagai tempat berteduh. "Ini bagus, kita tidak perlu khawatir kepanasan," ujarnya sambil menunjuk ke tempat yang sudah disiapkan. Harga sewanya pun cukup terjangkau, hanya sekitar Rp. 25.000, dan kami bisa duduk sepuasnya menikmati pemandangan pantai.

Zavi menikmati pantai. Dok. Pri
Zavi menikmati pantai. Dok. Pri

Kami menetapkan diri di tikar, sambil menikmati suasana yang semakin ramai. Anak-anak berlarian di pasir, suara motor trail dan ATV berkeliaran, dan Jeep yang sesekali melintas membuat semburan pasir menambah kegembiraan suasana. Pantai selalu memiliki cara untuk menghidupkan semangat siapa saja yang mengunjunginya.

Tak lama setelah itu, istri menyarankan ide lain, "Kita naik delman yuk, Ba," katanya semangat, menunjuk ke arah delman yang parkir tak jauh dari kami. Zavi, yang dari tadi asyik mengamati sekitar, terlihat sangat antusias melihat kuda yang menarik delman tersebut. Seolah mendengar keinginan hati kecilnya, saya langsung menyetujui, "Oke yuk gas!"

Segera saya melambaikan tangan memanggil pak kusir yang dengan cepat mengarahkan delman ke tempat kami. "Monggo dik," sapa pak kusir dengan ramah.

Saya bertanya mengenai tarifnya, "Berapa pak harga naik delman?" Dia menunjukkan lembaran dengan dua opsi tarif, "Monggo ini ada keterangan harganya," kata pak kusir.

Ada tarif untuk satu putaran dan satu paket; satu putaran dihargai Rp. 50.000, sementara satu paket Rp. 100.000, yang menawarkan rute lebih jauh dan kembali lagi ke titik awal.

Tanpa ragu, saya memilih paket yang lebih lengkap, "Oke deh pak, saya ambil yang satu paket aja." Pak kusir tersenyum, "O nggih monggo naik."

Kami pun naik ke delman, dan petualangan baru di pantai dimulai. Zavi tampak terpesona, mata bulatnya mengamati sekeliling dengan penuh keheranan---pengalaman baru yang tak terlupakan bagi kami semua.

Bagi saya, ini juga merupakan pengalaman pertama naik delman, meski telah lama tinggal di Jawa dan sering melihat delman di berbagai kesempatan. Ini adalah momen spesial, tak hanya bagi Zavi tapi juga bagi saya, sebuah kesempatan untuk mengalami sesuatu yang baru bersama keluarga.

Melintasi Keramaian Pantai: Kenangan Bersama Pak Kusir

Pak Kusir membawa kami berkeliling pantai Parangtritis dengan delman yang nyaman, menembus keramaian dan kerumunan wisatawan yang asyik menikmati pagi di pantai. Sesekali, beliau meniup peluitnya, tanda bagi orang-orang untuk memberi jalan kepada kami. Suara peluit yang terdengar di antara suara ombak menambah kesan petualangan yang khas.

Dalam perjalanan itu, rasa penasaran membawa saya untuk mengenal lebih jauh tentang Pak Kusir. "Bapak asli sini ya?" tanya saya untuk memulai percakapan. "Iya, Mas. Alhamdulillah saya orang asli sini," jawabnya dengan nada bangga.

Intrik dengan latar belakangnya, saya bertanya lebih lanjut, "Sudah lama Pak kerja di sini?" Pak Kusir tertawa kecil, "Wah, sejak mungkin kamu belum lahir," jawabnya. "Waduh, sudah lama banget ya Pak," balas saya terkejut.

"Iya, Mas. Saya ngurus kuda sejak kelas 3 SD, sekitar tahun 1986," cerita Pak Kusir, mengungkapkan betapa kerjaannya ini sudah menjadi bagian dari hidupnya yang tidak terpisahkan.

"Berarti turun-temurun ya ini, Pak?" tanya saya lagi, merasa terhormat bisa mendengar cerita dari seseorang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan tradisional yang mulia.

"Iya, ini dari bapak saya," lanjutnya, membuat saya semakin menghormati dedikasi dan kecintaannya terhadap pekerjaannya.

Perjalanan dengan delman itu membawa kami ke ujung pantai, tempat yang sering dijadikan lokasi syuting oleh para artis. "Ini lokasi yang sering digunakan artis untuk syuting, Mas. Nah, batu besar itu dulu digunakan Suzana untuk syuting film," ungkap Pak Kusir, menunjuk ke arah batu besar yang berada tepat di bibir pantai.

Saya langsung teringat beberapa adegan film lama yang mungkin pernah mengambil gambar di tempat yang sama, sebuah pengalaman nostalgia yang menyenangkan.

Di ujung pantai itu, kami bertemu dengan rombongan lain yang ternyata adalah keluarga dari istri saya. Budhe Shof, suaminya yaitu Ustadz Dahlan, dan beberapa sepupu istri, sudah menunggu di sana, rupanya mereka sudah lebih dulu sampai dengan menaiki Jeep.

Budhe Shof adalah kepala sekolah di MTs Perguruan Muallimat, tempat istri saya mengajar. Semua unit pendidikan di bawah Yayasan Badan Wakaf KH. Adlan Aly, dipegang oleh keluarga.

"Monggo kalau mau foto-foto dulu," ajak Pak Kusir, mengundang kami untuk mengabadikan momen indah ini. Kami pun bergabung dengan mereka, tertawa dan berfoto bersama, menikmati kebersamaan di tengah panorama yang menakjubkan.

Berpose dengan Budhe Shof dan Ustadz Dahlan. Dok. Pri
Berpose dengan Budhe Shof dan Ustadz Dahlan. Dok. Pri
Setelah sesi foto selesai, saya meminta Pak Kusir untuk kembali ke tempat awal. "O nggih Pak, kami mau kembali ke tempat semula," kata saya. Kami pun kembali menaiki delman, melanjutkan perjalanan kembali ke titik awal.

Selama perjalanan, saya memangku Zavi, yang sepertinya terlalu lelah dan akhirnya tertidur dalam pelukan saya. Istri saya, sambil tertawa kecil, berkomentar, "Ba, liat deh, Zavi ternyata tidur," menunjukkan betapa nyamannya Zavi sampai tertidur pulas.

"Yah, gak bisa naik Jeep dong kita," ucap istri dengan nada sedikit kecewa. Saya segera menenangkan, "Gak masalah, yang penting udah bikin Zavi happy dengan naik delman. Capek banget dia kayaknya. Makanya sampai tidur. Next time insyaallah kita ke sini lagi dan naik Jeep," kata saya, mencoba menghibur dan memberikan janji untuk petualangan lain di masa yang akan datang.

Perpisahan Dengan Pelangi

Setelah perjalanan menyenangkan bersama Pak Kusir dan delman, kami kembali ke titik awal, dimana petualangan kami di pantai Parangtritis hari itu dimulai. Saya membayar Pak Kusir untuk jasa mengelilingi pantai dengan tarif paket yang kami pilih, yaitu Rp. 100.000.

"Maturnuwun nggih, Mas," ucap Pak Kusir dengan ramah saat menerima pembayaran. "Sami-sami, Pak," balas saya dengan senyum, mengungkapkan rasa terima kasih kami atas pengalaman yang diberikan.

Kami memutuskan untuk duduk sejenak di area sewa tikar, menikmati suasana pantai yang kian ramai. Angin laut yang sepoi-sepoi dan suara ombak yang beradu memberikan ketenangan tersendiri di tengah keramaian.

Di kejauhan, anak-anak bermain, orang-orang berlalu lalang, dan suara kendaraan rekreasi pantai membaur menjadi satu, menciptakan simfoni kehidupan yang meriah.

Tiba-tiba, keajaiban alam menambahkan pemandangan spektakuler di langit. Sebuah pelangi muncul, melengkapi keindahan pantai dengan warna-warni yang memukau. "Lihat mi, ada 'eljibiti'," ucapku dengan nada bercanda, mencoba memecahkan suasana. Istri saya, yang tadinya sibuk dengan ponselnya, terkejut dan bertanya, "Hah? eljibiti?" Saya tertawa dan menjelaskan, "Iya tuh, lihat ada pelangi," sambil menunjuk ke arah langit yang berwarna-warni.

Penampakan pelangi. Dok. Pri
Penampakan pelangi. Dok. Pri

Istri saya segera mengambil ponselnya, ingin mengabadikan momen indah tersebut. "Oh iya ya. Wah, foto dulu lah," katanya semangat. Sayangnya, kamera ponsel tidak dapat menangkap kejelasan pelangi sebagaimana mata kami melihatnya, tetapi itu tidak mengurangi kekaguman kami.

Seiring hari semakin panas, kami memutuskan untuk kembali ke area parkir, bersiap-siap untuk melanjutkan agenda perjalanan kami berikutnya ke makam Aulia Gunungpring.

Momen di pantai Parangtritis, duduk di bawah payung di atas tikar sambil menikmati pemandangan pelangi, menjadi penutup yang sempurna untuk pagi yang luar biasa. Kami meninggalkan pantai dengan hati yang lebih berwarna, membawa kenangan yang akan kami ceritakan berulang kali di masa yang akan datang. Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun