Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Idul Adha dan Perayaan Kehidupan: Refleksi Pengorbanan Sejati

17 Juni 2024   12:50 Diperbarui: 17 Juni 2024   13:21 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Idul Adha bukan sekadar peringatan tahunan yang mengingatkan kita pada peristiwa monumental dalam sejarah Islam, di mana Nabi Ibrahim, dalam sebuah wahyu mimpi, diperintahkan untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail.

Lebih dari itu, Idul Adha merupakan momen introspeksi, dimana setiap Muslim dipanggil untuk 'menyembelih' ego dan nafsu kebinatangan yang bersarang dalam diri---sikap dan sifat yang sering menghalangi kita dalam mencapai kesucian spiritual.

Bagi mereka yang beriman, Idul Adha adalah ajakan untuk menyucikan diri dari penghambaan terhadap segala yang duniawi---kepintaran, kekuasaan, hingga nafsu---dan mengarahkan seluruh devosi hanya kepada Allah.

Memang, tidak mudah untuk mengatasi nafsu yang seringkali dipelihara oleh ketakutan---ketakutan akan kehilangan jabatan, pengaruh, atau kekuasaan. Namun, Idul Adha mengingatkan kita bahwa keimanan sejati membutuhkan pengorbanan nyata, tidak hanya secara fisik melalui ibadah qurban, namun juga pengorbanan batiniah, yang jauh lebih menantang.

Bulan Dzulhijjah, di mana Idul Adha dirayakan, diistimewakan oleh Allah lebih dari waktu lainnya dalam tahun. Dalam hadis disebutkan bahwa tidak ada amal shaleh yang lebih dicintai oleh Allah selain amal yang dilakukan dalam sepuluh hari pertama bulan ini.

Keistimewaan ini mencapai puncaknya dalam ibadah haji, dimana umat Muslim dari segala penjuru dunia berkumpul, mengenakan ihram---pakaian yang mensimbolkan kesetaraan dan kebersamaan tanpa memandang ras, status sosial, atau kekayaan. Mereka berjalan bersama, melantunkan talbiyah yang menyatakan kesetiaan dan kepasrahan kepada Allah, menghapus segala bentuk diskriminasi dan menegaskan kembali konsep egalitarianisme dalam Islam.

Di penghujung peristiwa besar dalam Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, umat Islam merayakan dengan pesta. Idul Fitri adalah hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, merenungi dan memperingati turunnya Al-Quran. Begitu pula dengan Idul Adha yang mengakhiri puncak ibadah haji dengan pembagian daging qurban. Perayaan ini bisa diartikan bahwa Allah mengyendaki hambanya untuk merayakan dan mensyukuri apa yang telah Allah anugerahkan dalam kehidupan ini.

Perayaan ini juga mengajarkan kita bahwa setiap pencapaian---baik besar maupun kecil---dalam kehidupan ini layak dirayakan dan disyukuri, dengan cara kita sendiri. Kultur di Indonesia yang kaya dengan tasyakuran dan makan-makan adalah manifestasi dari rasa syukur tersebut, sebuah refleksi dari bagaimana setiap momen keberhasilan, setiap langkah kemajuan, layak untuk diperingati, terlepas dari stigma atau penilaian.

Hidup adalah Qurban

Lebih lanjut, Idul Adha mengajarkan kita tentang esensi hidup yang sebenarnya---hidup adalah qurban. Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bukan hanya tentang pengorbanan fisik, melainkan juga pengorbanan ego, keinginan, dan ketakutan.

Nabi Ibrahim, setelah menanti lama kehadiran putranya, diuji dengan perintah yang mengerikan: menyembelih anak yang dicintainya. Respons Nabi Ismail, "Kalau memang itu perintah Allah, maka sembelihlah aku, semoga aku termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sabar," menunjukkan kedewasaan spiritual yang jarang ditemukan.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa cinta kita kepada anak, harta, jabatan, atau apapun, tidak boleh melebihi cinta kita kepada Allah. Ketika cinta kepada Allah sudah menjadi prioritas utama, ketamakan, ketakutan kehilangan jabatan atau kedudukan, serta kekuasaan akan hilang, karena semua itu hanyalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk dijadikan tuhan.

Dengan cinta yang lebih dan ditujukan kepada Allah, jiwa berkurban akan mengikuti secara otomatis---bukan hanya berkurban hewan, tetapi mengurbankan segala aspek dalam kehidupan kita, seperti harta, jabatan, dan kekuasaan demi kesejahteraan umat dan tegaknya keadilan.

Kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah membuatnya diangkat menjadi kekasih Allah. Nabi Ibrahim pernah ditanya,

 " "

"Karena sebab apa Allah menjadikan kamu sebagai kekasih?" Ia menjawab,

 ": : "

"Sebab tiga perkara: Aku lebih memilih perintah Allah di atas perintah selain Allah." Selanjutnya, Nabi Ibrahim berkata,

" " (

"Dan aku tidak pernah meresahkan perkara yang telah Allah jamin untukku", artinya ia tidak khawatir atas rezeki yang Allah telah jamin. Terakhir, beliau berkata:

" "

" Aku tidak makan malam dan tidak makan siang, kecuali bersama tamu", ini menggambarkan keramahannya yang luar biasa.

Dalam hidup ini, sebagaimana Nabi Ibrahim, kita diajak untuk tidak hanya memfokuskan diri pada kepentingan pribadi, tetapi juga pada bagaimana kekayaan, kekuasaan, dan kemampuan kita dapat digunakan untuk kebaikan bersama.

Berkurban, dalam konteks ini, adalah ekspresi nyata dari iman kita---menunjukkan bahwa kita siap untuk menempatkan kebutuhan orang lain di atas kepuasan diri sendiri, dan melakukan segala sesuatu dengan niat yang tulus untuk menyenangkan Allah.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa hidup sejati adalah tentang berkurban---mengorbankan apa yang kita miliki dan apa yang kita cintai untuk kebaikan yang lebih besar. Kita diajak untuk hidup bukan sebagai tuan dari apa yang kita miliki, melainkan sebagai hamba Allah yang sejati, yang menggunakan segala yang dimiliki untuk memuliakan kehidupan bersama dan menghormati ciptaan-Nya.

Dengan demikian, hidup kita tidak hanya menjadi perjalanan mencari kesenangan duniawi, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam, di mana setiap apa yang kita 'qurbankan' dalan hidup ini, bermuara pada taqarruban (pendekatan) diri kepada Sang Pencipta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun