Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibadah Transaksional: Bentuk Kesombongan Seorang Hamba

5 Juni 2024   19:02 Diperbarui: 5 Juni 2024   19:07 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan beragama, pemahaman yang tepat mengenai amal ibadah dan pengharapan akan ridha serta ganjaran dari Allah merupakan aspek yang sangat penting, namun sering kali luput dari perhatian kita. Banyak orang menganggap bahwa amal ibadah yang mereka lakukan adalah harga yang mereka bayarkan untuk mendapatkan surga. Pandangan ini, jika tidak dipahami dengan baik, bisa membawa seseorang kepada kesalahpahaman yang berbahaya. Mari kita bahas bagaimana seharusnya kita menyikapi amal ibadah kita berdasarkan hikmah dari Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam dan dalil-dalil syariat. 

Amal dan Rahmat Allah

Dalam salah satu hikmahnya, Ibnu Atha'illah berkata:


"Janganlah kamu mengandalkan amal yang telah kamu lakukan dan berhasil kamu laksanakan seperti shalat, puasa, sedekah, dan berbagai kebajikan lainnya untuk mendapatkan ridha Allah dan ganjaran yang dijanjikan-Nya. Tetapi, andalkanlah dalam hal itu pada rahmat, karunia, dan kemurahan Allah."

Ini berarti bahwa meskipun kita harus melaksanakan berbagai amal dan ketaatan, kita tidak boleh berpikir bahwa amal tersebut adalah harga yang kita bayar untuk surga, alias melakukan transaksi dengan Allah, atau sebut saja dengan istilah; ibadah transaksional. 

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: 

 [: /]

"Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar"".

(QS. Al-Hujurat: 17).

Ayat ini menegaskan bahwa keimanan dan segala amal yang kita lakukan adalah karunia dari Allah, bukan hasil usaha kita semata.

Rasulullah juga menegaskan hal ini dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya:

: :

"Tidak ada seorang pun di antara kalian yang masuk surga karena amalnya." Para sahabat bertanya, "Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Tidak juga aku, kecuali jika Allah meliputiku dengan rahmat-Nya." 

Hadis ini menegaskan bahwa amal bukanlah harga untuk masuk surga, melainkan rahmat Allah yang menjadi penentu. 

Mengapa Amal Tidak Bisa Menjadi Harga Surga?

Kita harus memahami bahwa kemampuan kita untuk melakukan ketaatan, seperti shalat, puasa, dan sedekah, semua berasal dari Allah. Allah-lah yang melapangkan dada kita dan memberi kita kekuatan untuk melaksanakan ibadah. Jika kita berpikir bahwa amal kita adalah harga yang kita bayarkan untuk surga, itu berarti kita menganggap bahwa kemampuan untuk beribadah adalah milik kita sendiri, bukan pemberian dari Allah. 

Seharusnya, ketika kita mampu melaksanakan ibadah dan ketaatan, kita harus bersyukur kepada Allah karena telah memberikan kita kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya. Sebagai contoh, ketika kita bangun di tengah malam untuk shalat tahajud, kita harus memuji Allah karena Dia telah memberi kita taufik untuk berdiri di hadapan-Nya. Tanpa cinta dan perhatian-Nya, tentu mustahil kita bisa melaksanakan qiyamul lail, dan tentu akan tertidur dan tidak mampu melaksanakan ibadah tersebut. 

 Pentingnya Pemahaman yang Benar

Pemahaman yang benar mengenai hubungan antara amal dan rahmat Allah sangat penting untuk menjaga keikhlasan dan ketawadhuan kita. Jika kita menganggap bahwa amal ibadah kita adalah karunia dari Allah dan bukan hasil usaha kita sendiri, kita akan lebih rendah hati dan tidak akan sombong. Kita juga akan lebih berharap kepada rahmat Allah daripada mengandalkan amal kita.

 

Sebuah Bentuk Kesombongan

Menganggap bahwa ketaatan dan ibadah yang kita lakukan adalah hasil kerja keras kita sendiri adalah bentuk kesombongan yang halus namun berbahaya. Kesombongan ini bisa membuat kita merasa bahwa kita lebih baik daripada orang lain dan bahwa kita berhak mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah. Padahal, pemahaman ini justru bertentangan dengan hakikat penghambaan kita kepada Allah dan bisa merusak keikhlasan dalam beribadah.

Ketika seseorang merasa bahwa shalatnya, puasanya, atau amal kebaikannya adalah murni hasil usahanya sendiri, tanpa menyadari bahwa semua itu adalah karunia dari Allah, maka dia telah terjebak dalam kesombongan. Kesombongan ini bukan hanya merusak hubungan kita dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia. Kita mungkin mulai melihat diri kita lebih tinggi dari orang lain yang mungkin belum diberi taufik untuk melaksanakan ibadah yang sama.

 

Rasulullah mengingatkan dalam sebuah hadis riwayat Abdullah bin Mas'ud:


"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi." 

Ini menunjukkan betapa bahayanya kesombongan, bahkan dalam hal yang kelihatannya baik seperti ketaatan kepada Allah.

Sekali lagi, sebagai hamba Allah, kita harus selalu ingat bahwa segala ketaatan yang kita lakukan adalah karena Allah telah memberikan kita kemampuan dan taufik untuk melakukannya. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, kita tidak akan mampu melaksanakan shalat, berpuasa, bersedekah, atau melakukan kebaikan lainnya.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:


"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya) dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan." (QS. An-Nahl: 53).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala nikmat, termasuk kemampuan untuk beribadah, datangnya dari Allah. Ketika kita menyadari hal ini, kita akan lebih bersyukur dan rendah hati, serta menjauhkan diri dari kesombongan.

Untuk menghindari kesombongan dalam ketaatan, kita harus membangun kesadaran yang benar tentang hubungan kita dengan Allah. Kita harus selalu mengingat bahwa kita hanyalah hamba yang lemah dan bergantung sepenuhnya kepada Allah. Ketaatan yang kita lakukan bukanlah untuk membanggakan diri atau merasa lebih baik dari orang lain, tetapi sebagai bentuk penghambaan dan rasa syukur kepada Allah.

Dengan memahami bahwa segala ketaatan adalah karunia dari Allah, kita akan lebih fokus pada keikhlasan dan ketawadhuan dalam beribadah. Keikhlasan berarti melakukan ibadah semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah, bukan untuk pujian atau pengakuan dari manusia. Ketawadhuan berarti menyadari kelemahan dan ketergantungan kita kepada Allah, serta tidak merasa lebih baik dari orang lain.

Ibnu Atha'illah dalam salah satu hikmahnya berkata: "Barangsiapa yang merasa bahwa ketaatannya adalah hasil usahanya sendiri, maka ia telah menyombongkan dirinya." Hikmah ini mengajarkan kita untuk selalu rendah hati dan tidak mengandalkan amal kita sendiri, tetapi selalu berharap pada rahmat dan karunia Allah.

Wallahua'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun