Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Marah dan Nasihat: Bagaimana Memilih yang Tepat?

1 Juni 2024   11:09 Diperbarui: 1 Juni 2024   11:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kehidupan, kita sering bertemu situasi atau individu yang memicu emosi kita. Hal ini wajar dan manusiawi. Namun, semua bergantung pada kita. Apakah kita membiarkan amarah menguasai kita, atau kita yang mengendalikannya.

Jenis kemarahan beragam. Ada yang marah dengan tujuan menegur karena tidak suka melihat kelalaian, kesalahan, atau penyimpangan. Dalam bahasa Arab, hal ini disebut mu'atabah yang berarti "menegur" atau "memarahi dengan cara yang baik."

Istilah ini mengacu pada tindakan memberikan teguran atau nasihat kepada seseorang dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan atau perilakunya, biasanya dilakukan dengan penuh perhatian dan kasih sayang.

Sebaliknya, kemarahan yang benar-benar murka sering disebut dengan ghadab. Kata memiliki konotasi negatif, menunjukkan perasaan marah atau jengkel yang kuat, serta emosi yang tidak terkendali.

Perbedaan antara mu'atabah dan ghadab adalah bahwa (mu'atabah) merujuk pada tindakan menegur atau memberikan nasihat dengan baik dan penuh perhatian, sementara ghadab merujuk pada perasaan marah atau emosi yang kuat akibat ketidakpuasan.

Kapan Marah Diperbolehkan dalam Islam

Dalam Islam, marah (ghadab) diperbolehkan untuk membela diri ketika diserang, membela kehormatan, harta benda, kepentingan umum, menolong orang yang terdzalimi, dan mempertahankan agama. Inilah yang disebut dengan marah yang terpuji.

Meski dalam Islam marah diperbolehkan, harus dilakukan dengan persyaratan yang ketat dan kendali yang kuat. Ini untuk mencegah agar kemarahan tidak menimbulkan kerusakan dan membuat pelakunya tergelincir dalam dendam dan emosi yang justru bisa menodai niat dan merusak citra Islam.

Kisah Sayyidina Ali: Contoh Pengendalian Diri dalam Kemarahan

Sikap menjaga niat dalam kemarahan agar tidak dikotori oleh dendam pernah dicontohkan oleh Sayyidina Ali. Ketika beliau berhasil meringkus lawan dan tinggal membunuhnya, tiba-tiba lawan tersebut meludahi Sayyidina Ali.

Seketika beliau melepaskan lawan tersebut dan tidak jadi membunuhnya. Orang tersebut terkejut dan heran, kemudian berkata: "Kenapa kau lepaskan aku dan tidak jadi membunuhku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun