Mohon tunggu...
Zainuddin El Zamid
Zainuddin El Zamid Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik

Menulis apa saja yang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasila, antara Idealisme dan Realitas Indonesia

30 Mei 2024   10:48 Diperbarui: 30 Mei 2024   11:01 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pancasila, yang dijunjung sebagai ideologi pemersatu bangsa Indonesia, di masa kini sering terasa lebih mirip dengan teka-teki sulit yang disimpan dalam kotak kaca--dipuja namun tidak selalu dipraktikkan.

Konsep akal dan adab yang seharusnya menjadi roh dari Pancasila, tampaknya mengalami distorsi dalam kenyataan kehidupan berbangsa yang kita alami sehari-hari. Ketika realitas politik dan sosial Indonesia bertentangan dengan prinsip-prinsip mulia ini, wajar jika kita bertanya: Apakah Pancasila masih relevan, atau hanya menjadi mantra kosong yang dipanggil-panggil saat upacara?

Akal: Sang Pemikir yang Terabaikan

Di dalam arus besar politik dan pembuatan kebijakan, acap kali tampak bahwa akal seakan menjadi aspek yang terpinggirkan. Dalam banyak keputusan, terutama yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya, tampak jelas bahwa perencanaan jangka panjang sering kalah oleh godaan keuntungan sesaat.

Contoh jelas adalah deforestasi yang tidak terkendali di beberapa daerah, di mana keuntungan ekonomi cepat menutupi pertimbangan tentang keberlanjutan lingkungan atau kesejahteraan masyarakat setempat. Ironisnya, kebijakan yang dibuat tanpa akal sehat ini tidak hanya merugikan lingkungan tetapi juga memperburuk kondisi hidup generasi mendatang.

Lebih jauh, akal yang terabaikan juga terlihat dari kegagalan sistem pendidikan dalam menghasilkan pemikir kritis dan inovatif. Akibatnya, lulusan-lulusan baru terjun ke dunia kerja dengan bekal teoritis yang kuat tapi kekurangan keterampilan untuk berpikir secara mendalam dan menyelesaikan masalah secara efektif.

Ini mencerminkan sebuah paradoks di mana negara dengan sumber daya alam yang kaya, namun kekurangan inovasi dan kreativitas untuk memanfaatkannya secara berkelanjutan.

Adab: Etika yang Terpinggirkan

Sementara akal fokus pada 'mengapa' dan 'bagaimana' kita bertindak, adab berkaitan dengan 'apa' yang kita lakukan dan 'dengan cara apa'.

Indonesia, yang dikenal dengan keramahan dan keberagaman budayanya, ironisnya juga menghadapi tantangan besar dalam menjaga nilai-nilai adab dalam praktik sehari-hari.

Peristiwa-peristiwa seperti intoleransi dan kekerasan atas nama agama atau suku sering kali menyeruak ke permukaan, menunjukkan bahwa adab--sikap menghormati keberagaman--masih seringkali hanya lip service.

Praktik korupsi yang merajalela di berbagai strata pemerintahan adalah contoh lain dari adab yang terdegradasi, di mana norma-norma sosial dan etika publik tergerus oleh kebiasaan-kebiasaan yang mengutamakan diri sendiri.

Dalam dunia yang semakin terkoneksi oleh teknologi, etika digital menjadi perhatian yang tidak bisa diabaikan. Ironisnya, dengan semua akses informasi yang ada, banyak dari kita gagal untuk beradab dalam berkomunikasi.

Cyberbullying, penyebaran hoax, dan eksploitasi data pribadi menunjukkan bagaimana krisis adab telah merambah ke ruang digital. Kita perlu mendesak diri sendiri dan orang lain untuk mempraktikkan adab dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya dalam interaksi tatap muka tetapi juga dalam dunia maya yang anonim dan terbuka.

Menemukan Pancasila Kembali: Sebuah Harapan

Menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam konteks yang modern adalah tugas yang tidak mudah, namun sangat penting. Pancasila tidak hanya harus menjadi pengingat identitas nasional kita tetapi juga harus aktif menginformasikan kebijakan publik dan interaksi sosial.

Melalui pendidikan yang mengutamakan akal dan adab, generasi muda Indonesia bisa dibekali untuk tidak hanya menghadapi dunia yang berubah tetapi juga untuk menjadi agen perubahan tersebut.

Ini berarti bahwa kurikulum harus melampaui teori dan memasukkan aplikasi praktis dari akal dan adab, mengajarkan anak-anak cara berpikir kritis tentang masalah-masalah yang mereka hadapi dan berinteraksi dengan cara yang sopan dan produktif.

Kita juga harus mengakui bahwa dalam era globalisasi ini, tantangan yang kita hadapi tidak lagi sektoral atau lokal saja, melainkan global. Oleh karena itu, pemahaman tentang Pancasila juga harus dapat menjawab tantangan-tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik internasional.

Pancasila dengan prinsip akal dan adabnya harus menjadi kompas yang membimbing Indonesia tidak hanya di panggung nasional tetapi juga internasional, menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya besar, tetapi juga beradab dan bijaksana.

Penerapan Aktual dari Pancasila dalam Kehidupan Nyata

Implementasi aktual dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata memerlukan lebih dari sekadar pengertian teoretis; ini membutuhkan tindakan yang nyata dan berkelanjutan.

Harus ada upaya kolektif untuk mengintegrasikan akal dan adab tidak hanya dalam kebijakan publik, tetapi juga dalam tindakan keseharian kita. Setiap kebijakan, inisiatif, atau program pemerintah seharusnya diukur tidak hanya berdasarkan efisiensi atau keuntungan ekonomi tetapi juga pada seberapa baik mereka mencerminkan prinsip-prinsip akal dan adab.

Jika nilai-nilai ini terinternalisasi secara luas, Pancasila tidak hanya akan menjadi identitas simbolis tetapi juga akan menjadi prinsip hidup yang nyata dan efektif dalam memandu tindakan kita.

Kesimpulan dan Refleksi

Pancasila seharusnya menjadi lebih dari sekedar kata-kata pada lembaran kertas atau mantra yang diulang-ulang tanpa pemahaman mendalam.

Masa depan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana generasi saat ini dan yang akan datang memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai akal dan adab dalam kehidupan mereka.

Menjadi kritis dan reflektif terhadap aplikasi nilai-nilai ini merupakan langkah pertama untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya berkembang secara material tetapi juga sebagai masyarakat yang harmonis dan beradab.

Dengan mengedepankan akal dan adab, kita berharap bisa mengubah paradigma, dari mengagumi Pancasila sebagai ideologi yang sempurna menjadi mengaktualisasikan Pancasila sebagai panduan yang praktis dan relevan.

Seperti kata Mahatma Gandhi, "Kamu harus menjadi perubahan yang ingin kamu lihat di dunia." Begitu juga dengan nilai-nilai Pancasila, kita harus memulai dari diri kita sendiri, dalam keluarga kita, di tempat kerja kita, dan dalam interaksi kita sehari-hari.

Pancasila sebagai ideologi, ketika dijalankan dengan akal dan dipertahankan dengan adab, memiliki kekuatan untuk tidak hanya menyatukan Indonesia dalam keberagamannya tetapi juga untuk membimbing negara ini melewati tantangan abad ke-21 dengan kebijaksanaan dan martabat.

Mari kita berkomitmen untuk menghidupkan kembali nilai-nilai ini, menjadikan Pancasila lebih dari sekadar simbol--menjadikannya sebagai cara hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun