pendidikan di sekolah, perguruan tinggi atau di pesantren. Belajar seakan menjadi sebuah aktivitas yang hanya dilakukan oleh mereka saja. Sedangkan yang tidak menyandang gelar yang sudah disebutkan di atas merasa bahwa kewajiban belajar sudah tidak ada lagi, dan kegiatan belajar sudah tidak lagi dianggap penting. Banyak juga yang sudah menjadi tenaga pengajar, tapi lupa untuk belajar. Sehingga materi yang disampaikan sepanjang masa itu-itu saja. Bahkan metode yang digunakan dalam proses belajar-mengajar masih menggunakan metode lama, dan tidak up to date, dan tentu membosankan bagi siswa.
Umumnya belajar hanya diidentikkan dan dikaitkan dengan siswa, mahasiswa, atau santri yang masih mengenyamMeng-upgrade diri dengan ilmu dan pengalaman harusnya menjadi kewajiban kita sebagai manusia. Ya, apalagi sebagai guru. Saya masih ingat dulu semasa KH. Ishaq Latief masih ada, beliau selalu mengulang pelajar-pelajaran lama, walau kitab yang ingin dingajikan di hadapan santri itu bisa dibilang sudah di luar kepala alias sudah dipahami tanpa melihat isi kitab. Tapi sebelum diajarkan dan dibaca di hadapan santri, beliau selalu membuka kembali halaman kitab yang akan diajarkan itu.
Saya akhirnya tersadar, bahwa orang yang sudah bertahun-tahun mengajarkan santri di pesantren pun, sebelum mengajar harus membuka kitab, mengulang kembali materi yang sudah pernah diajarkan. Ini berbeda dengan orang banyak pada umumnya. Biasanya orang yang sudah mahir dalam suatu materi, tidak perlu lagi belajar dan membuka kembali materi yang dianggap sudah dikuasai. Menganggap diri sudah mampu dengan materi yang akan disampaikan, akhirnya merasa tidak perlu belajar lagi.
Ya, kita semua mungkin begitu. Merasa sudah bisa, lalu berpikir untuk apa belajar lagi? Sombong dan pongah. Hingga lama-kelamaan kepintaran dan merasa bisa itu tenggelam oleh zaman yang penuh dengan informasi baru, cara terbaru, metode baru, dan ilmu baru yang lebih kekinian.
Wayang dan Media Sosial
Sayyidina Ali pernah berkata, "didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup pada zamannya, bukan pada zamanmu." Apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali itu tentu menampar kaum yang malas untuk belajar seperti kita ini. Kok bisa tertampar? Ya jelaslah. Itu artinya ada isyarat bahwa kita disuruh untuk terus belajar dan meng-upgrade diri sesuai zaman. Bagaimana kita bisa mendidik anak sesuai zaman jika kita malas belajar dan enggan meningkatkan kualitas pengetahuan dan keilmuan? Untuk mendidik anak sesuai dengan zaman tentu kita harus mengerti perkembangan zaman, kekinian, dan relevan. Tidak mungkin kita mendidik anak dengan cara lama, yang sudah kuno. Justru malah kita akan  ditertawakan oleh mereka yang sering mencari informasi dan ilmu-ilmu baru, serta ditertawakan oleh  mereka yang setiap hari menyedot informasi dan pengetahuan lewat ponsel. Itu baru persoalan mendidik anak sendiri, belum lagi persoalan mendidik anak orang lain atau  siswa.
Cara berpikir anak-anak Gen Z sangat kritis. Bayangkan jika Anda di depan kelas, lalu tidak bisa menjawab pertanyaan kritis dari murid Anda, kemudian Anda dianggap sebagai guru yang kurang pengetahuan dan informasi. Tentu sangat memalukan bukan?
Dalam sebuah pengajian keluarga, saya mendengar pernyataan dan pesan yang sama. ya, pernyataan yang mengharuskan kita untuk terus memperbaharui keilmuan, informasi, dan pengetahuan. Pesan itu disampaikan oleh KH. Amir Jamiluddin di sela-sela menjelaskan isi kitab At-Tadzhib. Beliau menyampaikan, bahwa sebagai guru kita harus terus meng-upgrade diri dan keilmuan. Alasannya karena zaman sekarang ini arus informasi dan pengetahuan tidak bisa dibendung. Siapapun bisa meneyerap informasi dan pengetahuan, dimanapun, dan kapanpun. Jika kita tidak mengikuti arus informasi, maka kita susah untuk berkembang dan susah untuk meneysuaikan diri dengan zaman.
Menjadi seorang guru dan pengajar harus menegerti dengan hal-hal up to date dan kekinian. Bayangkan jika metode dakwah yang dulu digunakan oleh Walisongo untuk menyampaikan pesan-pesan agama dengan media wayang dan kesenian masih digunakan saat ini; tentu tidak banyak orang yang tertarik untuk mendengarkan pesan-pesan dakwah para ustad dan kiai.
Zaman sekarang ada berbagai platform yang bisa digunakan sebagai media dakwah. Misal dengan memposting quotes kiai atau ulama di Instagram, membagikan video ceramah, juga membuat konten dakwah dengan desain gambar dan template video kekinian, diiringi dengan musik shalawat yang sedang viral.
Orang sekarang tentu akan memilih mendengarkan pesan dakwah di Instagram, Youtube dan Tiktok, dibandingkan datang ke acara pagelaran wayang. Ini bukan dalam rangka untuk mendiskreditkan pentas seni wayang. Tapi faktanya, tidak semua orang suka wayang dan paham Bahasa Jawa. Kesenian wayang harus tetap dilestarikan. Tapi persoalan apakah wayang masih tetap relevan untuk dijadikan media dakwah, silakan Anda jawab sendiri.