Mohon tunggu...
Candra Aji
Candra Aji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup ini mudah, semudah 2 pilihannya: baik atau lebih baik!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Bayimu (2)

31 Mei 2013   14:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:44 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, sepulang sekolah untuk pertama kalinya aku mengambil pisau dapur. Itupun spontan setelah melihat ibuku berpelukan dengan orang lain begitu mesra di kamar belakang. “Bajingan!” teriakku waktu itu. Hampir kutusukkan pisau itu tepat di bagian perutnya kalau saja cengkeraman yang kuat itu menghalangiku. Laki-laki itu memukulku dengan tangan kanannya. Aku terjatuh dan mataku berkaca. Kulihat ibuku dan mataku memerah...berharap dia di pihakku, berharap dia memelukku dengan tangannya dan membelai lembut rambutku seperti yang biasa dia lakukan waktu kecil.

“PERGI !” katanya kasar.... “PERGI” teriaknya sekali lagi....

Aku berlari keluar rumah dengan cepat, kuseka mataku yang sudah berair.....Dia ibuku? apa betul dia ibuku? Aku mencoba menenangkan diriku yang tak karuan. “Rokok...aku butuh rokok....”. Malam itu aku tidur di trotoar jalan lengkap dengan seragam sekolah yang masih aku kenakan.

Seminggu setelah kejadian itu, Ani memintaku untuk pulang ke rumah hari itu. Dia mengantarku sampai depan rumah. Dia sedikit memaksaku bercerita dengan jujur, apa yang selama ini terjadi?

“kenapa kamu kabur dari rumah yank?”,

“kamu gak boleh seperti itu...kasian orang tuamu. Menunggu dengan khawatir”

“apa sih yang kamu pikirin sampai ngelakuin kaya gitu?!”

Aku terdiam, tak satupun pertanyaannya yang bisa aku jawab. Sampai depan gerbang Ani memaksaku untuk masuk. Aku terdiam sejenak...”kamu pulang saja duluan” kataku pelan. “Kenapa?”. Kubentak dia, “PULANG!”. Matanya memerah, kubentak sekali lagi “PULANG!”. Dan dia dengan cepat dia berlari menjauhiku....entahlah...kupikir dia menangis. Setelah dia benar-benar menjauh, baru aku berani mengetuk pintu rumahku sendiri.

*PLAK* Ayah ku menamparku tepat di pipi sebelah kanan. Sudah kuduga, dia marah besar. Aku mendorongnya kebelakang menghiraukan makian dan cercaannya, berjalan ke kamar atas...kamarku. Sempat kulihat Ibuku di meja makan, dia terdiam menunduk setelah aku menatapku. Ya...aku tau rahasiamu bu, kataku dalam hati.

Apakah mereka akan merindukanku?

Untuk terakhir kalinya ak mengamati kota kelahiranku dari atas. Sampai jumpa Bu...kataku dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun