Mohon tunggu...
Candra Aji
Candra Aji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup ini mudah, semudah 2 pilihannya: baik atau lebih baik!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Toko Emas dan Sebuah Mainan Kecil

24 Oktober 2013   05:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:07 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mobil mengkilat ini tampak gagah di jalanan. “Tidak sia-sia aku membelinya dengan kerja kerasku…” Dadaku mengembang, aku adalah raja jalanan. Lamborgini Veneno, perlu 3 tahun untuk membayar uang mukanya. Aku tidak menyesal.

“Apa yang kamu pikirkan?”

“Apa yang kamu pikirkan?!” Pelan dia bertanya

Aku bisu dalam diam. Wanita, tau apa kebanggaan seorang pria?

“Kamu terlalu memikirkan mobilmu!”

“Dek, aku sedang berpikir arah jalan. Semua jalan macet dan tidak terkendali” Aku mencoba bersabar dengan ocehannya

“Kamu terlalu memikirkan toko itu!!!”

Oke, aku mulai tidak sabar..”CEREWET! Kamu tau apa sih? Kita terlambat barisan!”

Aku kadang tidak habis pikir dengan wanita ini, 10 tahun menikah masih saja aku tidak mengerti jalan pikirannya. Kurang apa aku sebagai seorang suami? Rumah? Aku bekerja keras membelinya. Makan? Aku telah memberimu uang lebih dari cukup. Perhiasan? Tidak cukupkah setiap akhir pekan aku kirim paket perhiasan mahal dari negeri seberang? O…Baju? Bahkan aku tak pernah menyuruhmu membeli pakaian murah dipasar seperti yang aku lakukan dulu waktu. Diamlah! Aku menggerutu.  Taukah kamu? Aku ke toko itu untuk transaksi emas! Ini juga kulakukan untuk masa depan keluarga kita! Dasar wanita gila!

“Deg…!” Jantungku tersentak sekali dan semua diam

****

Aku kaget dan terbangun, ini dimana? Butuh waktu 5menit untuk menyadarkan pikiranku. Aku masih terduduk di kursi mobil, kutengadahkan tangan..kuraba ke pipi…kupastikan semua tubuhku lengkap. Apa itu tadi? Aku pingsan? Berapa lama? Aku terdiam sejenak, kutengok ke kanan dan kulihat wanita itu terdiam dan mematung.

“Dek? Dek?.......................Dek?” dia terdiam mematung, tidak bersuara, dan bahkan tidak berkedip. Aku mulai panik. Istriku mati? Tidak mungkin! Orang mati pun tidak akan sekaku ini. Aku pegang tangannya yang memegang tissue itu, menggerakkannya ke kanan dan kekiri. Tapi tidak ada hasil, aku bahkan tidak bisa melepas tissue yang dipegang patung istriku itu. Terlalu berat dan terlalu kaku.

……………Oke!

sekarang aku mulai panik. Tidak ada kehidupan disini, semua diam mematung. Suara mobil yang hilang, radio yang dulunya sayup-sayup mulai memudar, suara-suara bising menghilang, dan bahkan suara oksigen saling bertabrakan pun tidak terlihat. Aku, seolah mulai berpindah didalam ruang hampa tanpa batas. Aku mencoba memahami situasi ini. Memutar kepala, melihat kaca spion, memandang kaca mobil dan memegang erat stir mobil. Aku mencoba menyadarkan diriku didalam anomali ruang dan waktu ini. Lalu aku mencoba fokus menengok kebelakang, yang kulihat hanyalah “patung”: wanita dewasa yang sedang menahan tangis, seoarang gadis mungil berkuncir dua yang ingin mati hanya karena boneka teddy bearnya tertinggal di rumah dan seorang remaja laki-laki yang memandang kearah kaca mobil dengan tatapan kosong.

Lihatlah, betapa menyedihkan raut muka mereka. Tidak ada satupun yang ceria, mereka sepertinya tidak ingin berada di dalam mobil ini dan jika diberi kesempatan mereka akan keluar. Mereka seperti burung dan mobil ini sangkarnya. Aku tak mengerti, bagaimana bisa mereka merasa sedih berada di dalam mobil sekeren ini: Lamborgini Veneno. Ini adalah mobil mahal yang tidak semua orang bisa membelinya. Bagaimana bisa? Ah sudahlah, aku malas untuk berpikir membodohkan mereka: keluargaku sendiri. Aku amati dengan detail satu persatu keluargaku, sesaat rasa penasaran itu muncul. Seperti: Apa yang selalu disembunyikan istriku di dalam dompet kecilnya? Apa yang selalu disembunyikan anak remaja itu di dalam kantong-kantongnya? Atau …. Apa yang selalu ada di dalam tas mungil berwarna pink gadis mungil itu? Aku tak pernah melihatnya?... aku belum sempat melihatnya? …..okelah, aku malas untuk melihatnya? Aku cuek?

Rasa marah kemudian menjalar ke tubuhku, AKU MULAI MARAH! Tanpa alasan yang jelas aku mulai marah:

1. Mungkinkah di dalam dompet kecil istriku ada foto selingkuhannya? Atau di dalam dompet istriku ada handphone yang didalamnya terisi sms dari selingkuhannya? Istriku memang cantik dan sangat mungkin dia memiliki pria simpanan. KURANG AJAR! ISTRI TAK TAU DIRI!

2.Aku melihat anak laki-lakiku, mungkinkan di dalam kantong sakunya terdapat Rokok? Pisau? Narkoba? Bahkan yang terburuk..Kondom?! ANAK GILA! Emosiku meluap-luap saat itu. Aku tidak pernah mengajarinya seperti itu, setidaknya dia tidak pernah melakukannya di depanku. Didepanku dia adalah anak yang baik-baik saja, sedikit pendiam dan tidak terlalu banyak bicara. Didepanku dia….tunggu…aku mulai berpikir lebih jauh: kapan terakhir kali aku berada didepannya? Aku mulai menghela napas panjang.

3.Sedikit terhibur sih melihat gadis mungil ku, ternyata setelah kuamati benar: dia terlihat lucu dengan rambut dikucir dua hahaha! Wajahnya agak jelek ketika dia menangis, mungkin dia harus lebih sering tertawa. Kapan terakhir kali ya dia tertawa? Kapan terakhir kali ya aku mencoba membuatnya tertawa? Aku..

****

Aku menarik napas dalam-dalam setelah membuka pintu mobil, mencoba mencari udara segar sembari melihat keadaan. Ternyata sama, tidak jauh beda. Semua masih terhenti dalam waktunya. Aku mulai berpikir, mungkin sang waktu sudah gila: Mereka berhenti dan Aku tidak. Kenapa Aku? Kenapa harus aku? Siapa Aku? Ah sudahlah aku tak mau berpikir terlalu keras lagi hari ini. Aku melangkah beberapa meter dari antrian mobil sepanjang jalan tol ini. “BRAK!” salah satu pintu mobil terbuka keras! Aku setengah melompat karena kaget, suara itu terdengar persis dari arah samping.

“siapa? Ada siapa disana?”

“…………”

Ruang tetap terhenti. Sang waktu tetap dalam penjagaan tidur panjangnya. Kosong. Hidup ini kosong.

“.................”

Aku mulai menata hati, memberanikan diri mengintip mobil dengan salah satu pintu yang terbuka lebar. Entah siapa yang berani membukanya dalam waktu yang terhenti ini, yang jelas logika ku mengatakan itu tadi terbuka dengan sendirinya. Aku melangkah mendekat, walaupun semakin mendekat semakin aku terlihat linglung. Aku melihat diriku sendiri disana, dengan keadaan yang lebih tua, rambut yang beruban, mata yang memerah karena marah dengan pandangan lurus ke depan. Disampingnya terdapat istriku yang juga mulai menua, tidak jauh beda: masih menangis dan menggengam tissue kesayangannya. Dibelakangnya pun tampak sama, seorang pemuda dengan bungkus rokok ditangan. Pemuda itu masih memandangi kaca mobil, seolah berharap bisa keluar secepatnya  dari mobil ini. Kupikir seharusnya pemuda ini sudah bekerja dan berkeluarga. Pemuda ini harusnya mengenakan jas lengkap dengan dasi Hermes, Gucci atau Louis Vuitton: seperti yang dilakukan para eksekutif muda lainnya. Tapi yang kulihat begitu mengecewakan, pemuda dengan kaos  dan celana jeans rombeng-rombeng. Terlihat jelas  tato dilengannya, anting kecil ditelinganya dan kalung kecil perak di lehernya. Pemuda yang menyedihkan.

Disampingnya ada gadis yang mulai beranjak dewasa, tertawa lebar dengan posisi menerima telepon: seingatku, tidak pantas wanita tertawa selebar itu. Wajahnya terlihat penuh bedak, baju yang ketat bertuliskan “Fuck Me!” dan celana ketat seksi hingga bagian tubuhnya terlihat. Memegang majalah dewasa dengan tidak tau malu sambil menerima telpon dengan tertawa lebar-lebar. Dia lebih mirip wanita jalang dibanding gadis berpendidikan. Seingatku aku selalu memenuhi kebutuhan pendidikan mereka, kenapa mereka menyedikan seperti ini? Inikah gadis kecilku yang dulu? Gadis kecil yang berkucir dua dan selalu memeluk boneka teddy bearnya? Aku jatuh tersungkur di jalanan, tidak habis aku bertanya dalam hati. Kenapa bisa seperti ini? Apa aku salah?

Dari kejauhan, alunan Miles Davis – Kind of blue mulai menggelitik telingaku.  Ughh….Masih dalam keadaan linglung aku mencoba berdiri, mencari kemana arah datangnya suara itu. Tidak sabar lagi aku mulai berlari, sepanjang antrian mobil ini aku terus berlari. Suara itu, aku harus menemukannya. Suara itu mengingatkan aku pada memori masa kecil yang terlupakan, aku harus kesana! Aku merasa itu penting! Aku harus kesana! . Suara itu : De-Javu.

****

Toko Kecil. Toko kecil itu tampak terlihat dari kejauhan. Seiring dengan terlihatnya toko itu, semakin jelas alunan Kind of blue di telingaku. Tampaknya, alunan lagu itu berasal dari dalam toko.

Oh!…setelah sekian lama aku mencarinya!

Aku berlari lebih cepat sambil tersenyum lebar. Aku merasa seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya, “Lihatlah mainanku, lihatlah mainanku!”

Aku mulai mengamati toko kecil yang tampak jelas itu. Toko merah dengan 2 asap perapian menjulang diatasnya; satu dikiri satu dikanan. Atapnya terbuat dari genteng kecoklat-coklatan dilengkapi dengan jendela yang berbentuk persegi panjang; (lagi-lagi) satu dikiri dan satu dikanan. Ada pintu tersisip diantara jendela itu, semakin dekat semakin jelas nomer yang tertempel di pintu tersebut “0”. Ada asesoris bell kecil yang ada tepat diatas daun pintu, berwarna kuning kecoklatan. Aku jelas melihatnya karena aku sekarang berdiri tepat didepan rumah itu. Ya, Aku tepat didepan rumah itu sambil tersenyum lebar: Ini yang kucari! Akhirnya aku berhasil! Aku sukses! Aku kaya raya! Imajinasiku lepas tanpa batas, jantungku berdegup kencang, wajahku kemerah-merahan sama seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku melangkahkan kaki kananku, kaki kanan pertama…

****

“selamat datang!”

Seorang wanita separuh baya berambut kuning dan bermata biru menyambutku sebelum aku sempat melangkah untuk kedua kalinya. Aku takjub dengan kecantikannya, baju terusan berwarna merah lengkap dengan pita dibelakangnya semakin mempermanis senyum wanita itu.

“selamat datang!?”

“……..h…..hai……h…hallo?” kataku terbata-bata

“bisa saya bantu?” kata wanita itu ramah

“……..”

“bisa saya bantu dek?”

“Dek? Aku dipangil dek? Maksudnya?” kataku bingung

Wanita itu tersenyum, “kamu ingin mencari mainanmu yang hilang kan?”

“tidak…ak mencari emas, katanya disini dijual banyak emas dengan harga murah?” kataku bersemangat, “aku ingin melihat dan memeriksanya, jika cocok kita bisa bernegoisasi masalah harga, aku mau memborongnya!” kuberi penekanan pada kalimat “memborongnya”. Kulakukan ini supaya dia tidak menganggap remeh penawaran yang akan aku ajukan.

“emas? Oh….kamu boleh mengambilnya gratis disini jika itu yang kamu cari dek, silahkan masuk” wanita itu berjalan masuk semakin dalam ke toko kecil itu.

“gratis?” Aku mencoba mengikutinya dari belakang, berharap dia tidak bercanda dengan kata “gratis”nya

“Ya…”

Aku masuk ke dalam toko kecil itu, yang kulihat betul-betul diluar akal sehat. Aku melihat semua perabotan toko kecil itu terbuat dari emas. Meja, kursi, lampu, lemari jam, patung, pigura, dll. Semua terbuat dari emas mengkilat! Aku belom pernah melihat emas yang bercahaya seperti ini. Aku tertawa puas, “ini gratis?”

“bawa saja semuanya…ya…bawa saja..”

“Aku mulai kegirangan, mencari dan menimbang benda mana yang akan aku bawa terlebih dahulu. Aku mengelilingi toko kecil itu dengan penuh konsentrasi, aku tidak ingin melewatkan satu barang pun di toko ini. “Aku ambil….” Aku mencarinya, barang yang paling berharga ditoko ini.

Apa ini?

Tiba-tiba pandangan mataku tak bisa lepas dari sebuah pigura usang yang hampir tersembunyi dibalik lemari emas besar. Pigura itu hanya dari kayu, berukuran kecil dan tidak mewah. Foto di pigura itu hanyalah Pemuda yang tersenyum bersama seorang wanita cantik disampingnya. Mereka saling bergandengan tangan, terlihat begitu bahagia dan begitu mesra. Kulihat mereka tidak kaya, yang laki-laki hanya mengenakan kaos dan celana jeans kumal dan wanitanya hanya mengenakan baju terusan yang biasa dikenakan oleh gadis-gadis desa. Aku mengamatinya lebih dekat, aku merasa seperti mengenal pasangan bahagia itu.

“Ini gambar siapa?”

Wanita pemilik toko kecil hanya tersenyum. Lagi-lagi alunan Kind of blue terdengar lebih jelas ditelingaku. Aku merasa aneh. Aku penasaran dengan pasangan itu. Aku memberanikan bertanya sekali lagi. “Ini siapa?”

Aku mencoba mengingat dengan keras, lemari-lemari memori di dalam otakku kubuka pelan-pelan. Lalu sesaat kemudian aku meneteskan air mata. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku menangis. Semakin lama semakin menetes hingga akhirnya wajahku tidak kuat lagi menutupinya. Aku menangis meraung-raung, aku menangis menjerit dan aku menangis dengan setengah teriak. Aku ingat! Aku ingat!

Aku ingat sekarang!

Itu Foto Aku dan Istriku Dulu

Aku menangis keras di lantai, aku jatuhkan seluruh tubuhku disana. Apa yang kulakukan? Apa yang telah kulakukan? Kenapa aku jadi seperti ini? Berulang kali kepalaku kubenturkan dilantai toko kecil itu dengan keras, berharap aku mati. Berharap aku lupa, Aku berharap lupa kemudian aku mati! Aku ingat lagi perjalananku ketika sampai disini, aku ingat lagi istriku di mobil yang menangis, aku ingat lagi anak laki-laki ku dan gadis kecilku, aku ingat semuanya…aku ingat semua yang akan mereka lalui. Aku yang membuat keluargaku seperti ini. Aku bodoh!

Aku menyerah.

Aku menyerah!

Aku berteriak dengan keras disela tangisku yang dalam, “AKU MENYERAH!”

Saat itulah wanita pemilik toko kecil itu mendatangiku, mencopot pigura lusuh itu dan menyerahkannya kepadaku. Dia masih tersenyum, “ini kan mainanmu yang hilang dek?”

Aku masih menangis, tak berani memandangnya

Lalu dia mengeluarkan foto itu dari piguranya, membalikkan foto itu, tertulis disana dengan jelas tulisanku 20tahun yang lalu :

BAHAGIA

ITU

SEDERHANA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun