Mohon tunggu...
Zahra Salsabyla
Zahra Salsabyla Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang gads yang punya banyak mimpi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Guncangan Politik Akibat Keputusan MK yang Mengubah Lanskap Kekuasaan

4 November 2024   21:40 Diperbarui: 4 November 2024   21:48 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini telah menimbulkan berbagai pandangan yang bertentangan di kalangan Masyarakat. Salah satu keputusan kontroversial adalah penghapusan batas usia minimum untuk calon presiden dan wakil presiden, yang membuka peluang bagi generasi muda untuk ikut serta dalam kontestasi pemilihan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum, terutama Pasal 169 huruf q, adalah hasil dari proses legislatif yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal ini menetapkan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus berusia minimal empat puluh tahun (Arif Sugitanata, 2023). Pembentukan undang-undang ini mencerminkan mekanisme demokratis di Indonesia, di mana peraturan penting dibuat melalui musyawarah dan persetujuan antara eksekutif dan legislatif. Batasan usia ini mungkin ditetapkan untuk memastikan bahwa calon yang maju memiliki kematangan dan pengalaman yang cukup untuk memimpin negara.

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah aturan usia capres-cawapres telah mengguncang dunia politik. Keputusan ini tidak hanya berdampak pada pemilihan umum, tetapi juga pada kredibilitas MK dan sistem hukum kita.Hasil uji materiil terhadap UU Pemilu oleh MK telah melahirkan putusan kontroversial yang mengubah syarat usia minimal calon pemimpin negara. Perubahan ini memiliki konsekuensi luas, baik bagi institusi MK maupun bagi tatanan hukum Indonesia secara keseluruhan.

Teori Radbruch menekankan pentingnya tiga aspek dalam peradilan: kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Seorang hakim dituntut untuk menyeimbangkan ketiga aspek ini dalam setiap putusan. Kepastian hukum menjamin konsistensi penerapan hukum, kemanfaatan mempertimbangkan dampak praktis dari putusan, sedangkan keadilan memastikan bahwa keputusan tersebut mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang berlaku.

Dengan tidak membatasi calon pemimpin berdasarkan usia semata, Mahkamah Konstitusi membuka peluang bagi lebih banyak orang untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan negara. Hal ini mencerminkan nilai keadilan yang lebih inklusif dan demokratis. Keputusan ini dapat dianggap bermanfaat karena memberikan kesempatan bagi generasi muda yang memiliki potensi besar untuk memimpin negara. Selain itu, hal ini juga dapat mendorong kompetisi yang lebih sehat dalam proses pemilihan pemimpin. Meskipun memberikan fleksibilitas, Mahkamah Konstitusi tetap berpedoman pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Keputusan ini tidak serta-merta mengabaikan aspek legalitas, tetapi justru memberikan interpretasi yang lebih luas terhadap ketentuan konstitusi.

Di sisi lain, perlu diingat bahwa kepemimpinan negara membutuhkan pengalaman dan kematangan. Terlalu muda bisa menjadi kendala dalam menghadapi kompleksitas masalah negara. Salah satu kritik utama adalah kekhawatiran bahwa pemimpin muda yang belum memiliki pengalaman memadai dalam pemerintahan dapat kesulitan dalam menghadapi kompleksitas masalah negara. Pengalaman dalam birokrasi, politik, dan manajemen krisis dianggap penting untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin negara. Lalu ada kekhawatiran bahwa keputusan ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendukung calon pemimpin yang belum memiliki kematangan politik atau yang mudah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di balik layar.

Ditakutkan perubahan yang terlalu cepat dalam kepemimpinan, terutama jika dilakukan oleh pemimpin yang belum berpengalaman, dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi negara. Beberapa pihak menilai bahwa putusan MK ini lebih didorong oleh kepentingan politik tertentu daripada pertimbangan hukum yang murni. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang independensi dan integritas MK. Viola Reininda berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyimpang dari peran utamanya sebagai pengawas kekuasaan. Dengan tidak bertindak independen, MK gagal menjalankan fungsi sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak-hak warga negara.

Untuk mengatasi kekhawatiran tentang kurangnya pengalaman, penting bagi pemimpin muda untuk mendapatkan bimbingan dari senior yang berpengalaman. Selain itu, diperlukan sistem mentoring yang efektif untuk membantu pemimpin muda mengembangkan kemampuan mereka. Agar pemimpin muda tidak menyimpang dari jalur yang benar, perlu adanya mekanisme pengawasan yang efektif untuk menjaga mereka tetap bertanggung jawab kepada masyarakat.

Mahkamah Konstitusi bertugas memastikan semua undang-undang kita sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, MK juga menyelesaikan masalah jika ada lembaga negara yang berselisih, membubarkan partai politik yang melanggar aturan, dan menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Fungsi utamanya meliputi pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, penyelesaian sengketa terkait kewenangan lembaga negara yang diatur oleh Konstitusi, pembubaran partai politik, serta penyelesaian perselisihan terkait hasil pemilihan umum. Ketentuan ini diatur secara rinci dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003. Mahkamah Konstitusi memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas hukum dan keadilan konstitusional di Indonesia dengan memastikan bahwa setiap tindakan atau regulasi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Konstitusi dapat diuji dan diperbaiki secara adil dan transparan. 

Pemilu yang diadakan setiap lima tahun sekali adalah bukti bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XII/2023 dianggap oleh banyak orang tidak tepat dan memicu keraguan terhadap integritas para hakim konstitusi. Ketidakpercayaan ini berpotensi memicu erosi kepercayaan publik terhadap negara, konflik sosial, dan ketidakstabilan politik. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan langkah-langkah konkret seperti meningkatkan transparansi proses peradilan, memperkuat mekanisme akuntabilitas hakim, dan memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat. Peran media massa juga sangat krusial dalam menyajikan informasi yang akurat dan tidak bias terkait kasus ini.

Ketika putusan ini disahkan, pakar hukum Sukri Tamma dari Universitas Hasanuddin mempertanyakan kondisi demokrasi Indonesia. Seperti yang kita ketahui, sistem demokrasi pada dasarnya membutuhkan hukum untuk membatasi dominasi ke salah satu pihak. Hukum harus selalu mengungguli politik agar hubungan antara hukum dan politik tidak tercampur (Nugraha, 2023). 

Dari konteks tersebut timbul dugaan adanya pelanggaran etika dan integritas dalam pengambilan keputusan Mahkamah Konstitusi telah memicu kekhawatiran akan melemahnya sistem pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman. Hubungan dekat antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana pertimbangan politik memengaruhi putusan akhir. Hal ini menggarisbawahi pentingnya menjaga independensi peradilan sebagai benteng terakhir dalam menegakkan keadilan.

Secara keseluruhan, putusan MK ini telah mengubah dinamika politik di Indonesia dan menyoroti pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan independensi dalam proses pengambilan keputusan hukum. Keputusan ini juga menggarisbawahi kebutuhan akan evaluasi dan perbaikan terus-menerus dalam sistem peradilan dan penegakan hukum, agar keputusan yang dihasilkan benar-benar berlandaskan prinsip-prinsip hukum yang kokoh. Putusan ini menjadi sorotan karena diduga tidak memenuhi standar transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya dimiliki oleh sebuah lembaga peradilan. Hal ini memicu diskusi mengenai pentingnya menjaga independensi peradilan agar keputusan yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum. Kasus ini menunjukkan bahwa sistem peradilan kita masih memiliki kelemahan dan perlu terus diperbaiki. Evaluasi yang komprehensif terhadap proses pengambilan keputusan, mekanisme pengawasan, dan standar etika hakim perlu dilakukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.

Putusan hukum yang baik adalah putusan yang didasarkan pada hukum yang jelas dan berlaku umum. Putusan yang menyimpang dari prinsip-prinsip hukum dapat memicu ketidakpastian hukum dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun