“Kemarin Chairul ketiduran. Tapi pak Muh tidak marah. Hanya tertawa saja.” Mei menjawab. Yang disebut namanya hanya membuang muka, malu. Karena sekelas ramai menertawakannya.
Tiba-tiba Dei masuk kelas nampak tergesa-gesa. Kelas yang awalnya penuh tawa langsung hening sekejap.
“Ada guru?” Tanya Joy. Sekelas menunggu jawabannya tak terkecuali aku tentunya.
“Tidak, aku lupa dimana hp-ku” jawabnya yang membuat sekelas kesal dan akhirnya tertawa. Tapi tiba-tiba terhenti dan hening kembali karena bu Nur, guru kimia masuk dan membawa setumpuk kertas yang mungkin saja hasil ujian bulan kemarin.
Chairul pun memberi aba-aba.
“Oke, kumpul tugasnya dan habis itu kita kuis. 3 nomor saja”
Itu kalimat pertama bu Nur yang terkenal dengan soal-soalnya yang sedikit tapi bercabang banyak setelah menjawab salam. Sekelas langsung melotot terkejut. Kuis dadakan segera diadakan. Sekelas kompak mengeluh (dalam hati).
***
Pulang sekolah hari ini lebih longgar dari kemarin. Tidak ada jadwal les, dan prnya hanya bahasa Indonesia. Aku sudah selesai. Sekarang jam 8 malam dan aku segera membereskan buku pelajaran besok.
Saat mengeluarkan buku-buku, kulihat kertas terlipat di dasar tas ransel. Warnanya kuning muda, warna yang kurang kusuka. Kertas itu terlipat. Aku membuka perlahan lipatannya. Oh, ternyata surat. Tapi dari siapa surat yang terlipat empat kali itu? Aku mulai membacanya.
“Sebelumnya, aku ingin beritahu kamu sesuatu.
Aku tau dan juga sadar diri.
Kecil kemungkinan kau mau memaafkan Chairul sepertiku.
Aku memang bukan Chairil Anwar sang pujangga
Yang puisi berjudul ‘Aku’nya melegenda sepanjang masa.
Aku bukan Chairul Adam,
Ayahmu yang sangat kau sayangi.
Aku bukan Chairul Tanjung
Pengusaha Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian.
Aku juga bukan seperti Chaerul Saleh
Pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjadi Mentri Pertambangan saat zaman pemerintahan Soekarno.
Bahkan bukan Chairul Azzam,
Tokoh utama novel Ketika Cinta Bertasbih karya kang Abik.
Apalagi Khairul Amri
Pemain sepak bola asal Singapura.