Kampung, terutama kampungku, memang eksotis. Bahkan, nama-nama pun banyak yang eksotis. Ada yang namanya Bakul, Centong, Pacul, atau  Sair. Pun, ada nama seperti Sarjana, Kopral, juga Jendral. Nama-nama mereka sepertinya lucu, tapi tidaklah demikian adanya.  Mereka sangan sensitif bila ada yang memplesetkan nama mereka. Pernah Centong membabi buta hanya karena ada yang iseng bercanda, "Maklum Centong. Yang dia tahu, kan, cuma nasi!"
Dan, ini kisah tentang Jendral. Iseng tapi tidak mau diisengin. Usil tapi tidak mau diusilin. Jahil tapi tidak mau dijahilin.
Sore ini, Jendral melewati jalan pintas yang biasa dilewati kerbau Abah Uka. Dia melihat banyak sekali kotoran kerbau di jalan pintas itu. Jendral berhenti sesaat, sepertinya tengah mengingat-ingat kotoran kerbau itu. Dan ... timbullah pemikiran briliannya.
Malam ini, usai mengaji di rumah Nyi Minah, Jendral mengajak Bakul, Centong, Pacul, dan Sair pulang melewati jalan pintas, "Sekalian kita 'ngobor puyuh'!" ajak Jendral. 'Ngobor Puyuh' merupakan aktivitas rutin mereka di malam hari, yakni mencari burung puyuh yang masih banyak terdapat dipesawahan.
"Tapi, kan, jalan pintas gelap, Jendral!" ujar Bakul.
"Kalau takut, kita lari. Lagi pula kita harus buru-buru. Biasanya rombongan Sarjana udah pergi duluan!" Jendral meyakinkan.
Tanpa pikir panjang, keempatnya mengikuti keinginan Jendral yang berjalan di depan. Jendral berlari memilih jalan melewati kotoran kerbau. Sontak mereka pun mengikuti. Hasilnya? Bakul, Centong, Pacul, dan Sair tidak jadi 'Ngobor Puyuh'. Mereka malah bergegas ke sumur musala karena tubuh mereka penuh dengan kotoran kerbau.
Keempat sahabat Jendral merasa dijebak. Mereka pun berencana melakukan pembalasan kepada Jendral.
Besok malamnya, Bakul, Centong, Pacul, dan Sair tidak mau melewati jalan pintas yang telah direkayasa Jendral.
"Sudahlah, kita pulang lewat cukang saja!" ajak Bakul. 'Cukang' merupakan jembatan kecil atau titian yang biasa digunakan untuk melewati aliran irigasi sawah di kampung. 'Cukang' dibuat dari bambu atau kayu dan dipinggirnya dibuat pegangan dari bambu memanjang agar yang lewat tidak terjatuh.
"Ya udah, gak apa-apa!" Jendral menyetujui.
Seperti biasa, Jendral berjalan di depan. Sesampainya di cukang, perlahan Jendral melewati titian. Agar tidak terjatuh, tangannya memegang pegangan pengaman sampai berhasil melewati seberang aliran irigasi. Namun ketika dilihatnya keempat temannya belum melewati cukang, Jendral berteriak, "Hei, kalian. Ayo nyebrang!"
"Kami takut, tadi siang di pegangan bambu itu ada kotoran ayam!" balas Bakul.
Jendral terkejut. Secara spontan ia mencium tangan kanannya. Alamaaakkk. Telapak tangannya penuh dengan kotoran ayam. Ternyata, sebelum ke pengajian, pegangan bambu itu telah dilumuri kotoran ayam oleh Bakul, Centong, Pacul, dan Sair.
Di seberang cukang, Bakul, Centong, Pacul, dan Sair terkekah. Mereka nampak puas. Karena merasa dikerjain, Jendral pun murka. Ia balik arah berlari melewati cukang untuk mengejar keempat sahabatnya. Karena tidak hati-hati, Jendral pun terjerembab, terpeleset dari cukang. Keempat sahabatnya kaget dan akhirnya mereka turun ke air untuk menolong Jendral.
"Aduuuh. Kakiku pedih kena batu!" Jendral meringis.
"Sabarlah. Karma itu memang pedih, Jendral!" ujar Centong diiringi derai tawa Bakul, Pacul, dan Sair. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H