Ini setelah kepergianku meninggalkan kampung halaman, demi 'masa depan'. Perlahan, nasihat dan gambaran ibu tentang manusia Indonesia hilang, ditelan kegilaan zaman.
Aku yang dilahirkan dalam tatanan Indonesia lama, tak mengerti benar perubahan yang dimaksudkan untuk memunculkan perbaikan di segala bidang.
"Manusia Indonesia ramah tamah," kata ibu. Dulu.
Yang kuhadapi justru kebrutalan. Indonesia, negeriku tercinta, kini telah menjadi bangsa yang sadis.
 "Manusia Indonesia penuh persatuan," kata ibu. Dulu.
Yang kuhadapi justru perpecahan. Gontok-gontokan sesama saudara tak kunjung usai.
"Manusia Indonesia santun terhadap sesama," kata ibu. Dulu.
Yang kuhadapi jauh panggang dari api. Jangankan membuang ranting di jalanan, mereka malah menebangi pohon untuk menghalangi jalan.
Ibu, kini aku dipaksa menyaksikan tindakan-tindakan anarkis yang rutin muncul di layar televisi. Ibu, mereka telah kehilangan nurani; budaya toleransi tak terwarisi.
Di tiga puluh tahun usiaku, aku curiga, ibu berdusta.
"Bukan ibu yang dusta, nak. Namun, merekalah yang telah durhaka kepada pertiwi yang telah melahirkannya dan kepada zaman yang telah membesarkannya,"