Oleh Zayn Al Muttaqien
Sepuluh tahun pertama, aku rindu dengan dongeng ibu;
"Bu, ceritakan, dong, dongeng tentang kancil dan buaya!" rengekku. Dengan senyum khasnya, dia membimbingku masuk kamar. Banyak hikmah kebajikan yang ia tanamkan di balik dongengnya, meski dulu, dalam usia sekecil itu, aku tak mampu memaknai. Cukuplah kemenangan 'sang pahlawan' menghantarku memasuki mimpi indah.
Di sepuluh tahun pertama usiaku, aku mengenyam hakikat kejujuran, kebajikan, ketulusan, dan keberanian yang ibu berikan.
"Kita harus santun kepada sesama," ujarnya.
"Mengapa?"
"Karena itu warisan yang harus kita jaga,"
"Tapi, Udin teman sepermainanku, sering memukul Mbak Lin bila lewat di depan rumahnya,"
"Jangan mencontoh ketidakbajikan!" Ibu memandangiku. Ada sejuta ketulusan yang dipancarkannya.
Aku merasa semua orangtua pastilah seperti itu. Santun penuh pinuntun. Sebagai pengayom, ibu telah menanamkan keyakinan, bukan sikap penuh kecurangan.
Namun, dalam ketakmengertian, seringkali aku tanyakan hal-hal yang berlawanan dengan nasihat ibu. Tentang Udin yang bengal; tentang Asep yang suka mencuri jambu Wak Haji; atau tentang Cimeng yang selalu mengambil sandal baru sepulang shalat dari masjid. Apakah mereka itu tidak mempunyai orangtua?