Perkembangan teknologi digital memasuki dunia tumbuh dan kembang anak generasi Z. Hidup di lingkungan yang mudah terkoneksi menuju dunia luar tanpa batas, memberi sajian informasi yang siap pakai sebagai bahan pemenuhan kebutuhan maupun kepentingan aktivitas hidup. Generasi Z bisa ditandai sebagai generasi minim batas (boundary- less generation). Memainkan peran sebagai insan yang bebas, menolak terkekang, cepat, enggan menunggu, mencari bukan menunggu instruksi, dan berkolaborasi tak hanya berkompetisi. Mereka sebagai digital native memiliki kemampuan menggunakan teknologi sama seperti alaminya ketika bernafas.
Karakter mental global yang terbentuk dan pengalamannya bereksplorasi di alam maya menjadikan generasi ini lebih terbuka menerima keragaman budaya maupun pandangan pola pikir. Generasi ini lebih menyukai budaya  instan dan kurangnya kepekaan terhadap esensi  privat  karena  secara konstan  banyak mengunggah kisah hidupnya  di media sosial.
Kelihaian generasi Z berselancar melalui jejaring net, memberi ruang untuk mengaktualisasikan diri dengan mengoptimalkan berbagai sosial media seperti instagram, facebook, twitter/X, whatsapp, tiktok, dll. Sosmed dipandang sebagai tempat ternyaman untuk mentransfer komunikasi, berbagi pengalaman, mengekspresikan bakat, mengasah kreativitas, sebagai wahana untuk mendatangkan cuan-cuan maupun membangun personal branding. Hal tersebut menjadi rutinitas keseharian yang sulit untuk terlewatkan. Perlu menjadi perhatian terhadap aktivitas mereka yang terkadang terekspos tanpa filter. Apapun bisa disebarluaskan hingga penjuru dunia. Inilah akhirnya menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya cyber crime. Sehingga dibutuhkan kesiapan mental dan kecerdasan berfikir dalam pemanfaatan platform digital.
Meskipun generasi Z berada pada zona yang serba instan dan mudah didapat, mereka juga memiliki tantangan yang kompleks. Seperti tindakan bullying di sosial media yang berakibat pada kondisi kesehatan kejiwaan atau mental seseorang dan screen time yang berlebihan menjadikan mereka kurang bersosial secara fisik. Dampak buruk bisa terjadi pada kebiasaan mengakses informasi hiburan yang berlebih dan kurangnya akses informasi yang sesungguhnya bermanfaat untuk kebutuhan pembelajaran sekolah maupun pengembangan diri.Â
Dalam konteks pendidikan, guru/pendidik sudah seharusnya memahami karakteristik generasi z, sehingga akan mempermudah untuk menentukan model maupun strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dan menumbuhkan budaya belajar yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan. Guru senantiasi memberi arahan untuk menggunakan internet dengan positif dan mengatur waktu dengan ideal. Jika generasi ini tidak memiliki kemampuan self regulated learning dengan baik akan memberikan dampak negatif terhadap prestasinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI