Mohon tunggu...
Yayi Solihah (Zatil Mutie)
Yayi Solihah (Zatil Mutie) Mohon Tunggu... Guru - Penulis Seorang guru dari SMK N 1 Agrabinta Cianjur

Mencintai dunia literasi, berusaha untuk selalu menebar kebaikan melalui goresan pena.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Liliuran: Kearifan Lokal Sunda yang Makin Tergerus Zaman

20 Februari 2021   08:57 Diperbarui: 20 Februari 2021   09:06 2413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://akcdn.detik.net.id/

Negara Indonesia memiliki begitu banyak kearifan lokal yang telah turun temurun dilakukan. Baik yang berupa seni, budaya, ataupun kebiasaan baik dalam masyarakat pada umumnya.

Seperti pada kebiasaan yang sudah menjadi adat istiadat di daerah Sunda yang meliputi tatar parahiangan hingga Banten. Keseharian masyarakat setiap kampung yang memiliki kesatuan budaya selalu memiliki ciri khas berupa kearifan lokal yang mengakar.

Salah satu kebiasaan baik itu adalah istilah Liliuran. Kata dasar liur artinya membantu tanpa pamrih Sedangkan liliuran artinya saling membantu pekerjaan seseorang dengan dilakukan oleh sekelompok orang atau sekelompok warga tanpa upah.

Jadi, ketika ada suatu pekerjaan yang memerlukan tenaga banyak orang. Liliuran akan dilakukan untuk saling meringankan beban. Dalam hal ini istilah liliuran sudah kita kenal sebagai istilah gotong royong yang menjadi ciri khas warga Indonesia sejak zaman dahulu kala.

Selamat datang di artikel terbaru saya, Kompasianer. Kali ini kita akan mengulas tentang kebiasaan gotong royong dalam masyarakat Sunda yang dikenal sebagai Liliuran.

Apa saja jenis pekerjaan yang dikerjakan dalam liliuran?

1. Liliuran persiapan lahan untuk bercocok tanam

Dalam kebiasaan bermasyarakat para petani, ketika musim penghujan tiba. Setiap warga akan sibuk menyiapkan lahan untuk ditanami. Baik ladang atau sawah yang dipenuhi rumput atau membuka lahan baru, mereka akan mengadakan gotong royong sehingga pekerjaan setiap warga bisa terselesaikan. Pihak pemilik ladang atau sawah hanya perlu menyediakan makanan saja.

2. Liliuran tandur

Bagi yang memiliki sawah. Pekerjaan tandur alias menanam bibit padi di sawah ini memang membutuhkan banyak pekerja. Jika tidak punya modal besar untuk memberi upah tentunya tandur sangat lah berat. Namun, pada masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat sunda. Mereka akan mengerjakan tandur ini dengan sistem liliuran. Selain indahnya kebersamaan, rasa saling menghargai bisa lebih dirasakan.

3. Liliuran ngaseuk

Untuk wilayah yang terdiri dari perbukitan biasanya lebih dipakai sebagai ladang. Baik otu padi, jagung atau kacang tanah. Teknik ngaseuk memang menjadi teknik pertanian paling kuno yang masih dilakukan hingga sekarang. Indahnya sukacita dan kebersamaan akan terpancar dari hiruk pikuk suara para warga yang saling melempar guyonan demi mengusir lelah. Selepas ngaseuk mereka akan menikmati santapan dari pemilik lahan berupa cendol atau disebut rujak. Tak lupa juga nasi ketan dan colenak.

4. Liliuran panen

Masa paling ditunggu para petani adalah saat tiba panen. Panen ini pun sama, akan dilakukan dengan cara liliuran alias gotong royong dari satu warga ke warga yang lain. Terutama untuk panen padi huma yang dipotong dengan etem. Kebersamaan lebih terasa walau hanya mendapatkan upah padi beberapa ikat yang disebut gedeng.

5. Liliuran ngaruag imah

Membangun rumah adalah tugas yang berat. Bahkan untuk yang masih memakai rumah panggung ala Sunda. Pekerjaan merobohkan rumah atau ngaruag ini dilakukan dengan gotong royong juga. Begitupun membangun rumah atau disebut ngadegkeun. Para kaum adam akan dengan sukarela membantu tetangga yang sedang membangun rumah.

Kaum hawa biasanya akan saling gotong royong membantu memasak untuk makan bersama warga yang membantu.

Semua kegiatan itu kini mulai berubah bahkan semakin jarang dilakukan warga. Semuanya tergerus oleh zaman yang serba individu. Rasa kebersamaan pun kian berkurang. Padahal kearifan lokal liliuran ini sangat bermanfaat dan menjaga kebersamaan dalam masyarakat.

Selain itu budaya liliuran bisa mengurangi beban di antara masyarakat yang kesusahan. Semoga, kebiasaan baik yang mulai tergerus zaman ini tidak akan sirna. Semoga anak cucu kita kelak masih bisa merasakan indahnya kebersamaan dalam bentuk liliuran.

Semoga bermanfaat.

Cianjur, 2022021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun