Â
Gambaran Umum    Â
Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan muculnya fenomena sekaligus istilah baru yang disebut CFW (Citayam Fashion Week), fenomena ini menjadi sorotan setelah salah satu akun pengguna media sosial Twitter mengunggah gambar yang memperlihatkan kawasan BNI City Sudirman begitu ramai dengan muda-mudi yang sedang nongkrong. Ratusan bahkan mungkin ribuan anak-anak muda yang nongrong di kawasan tersebut, diketahui berasal dari Depok,Citayam,Bojong Gede dan sekitarnya.
Lalu mengapa fenomena ini begitu menarik untuk dibahas? Selain banyaknya anak-anak muda yang berkumpul/nongkrong di kawasan Sudirman, adalah gaya berpakaian mereka yang bisa dibilang Stylish dan nyentrik dari situlah fenomena ini dinamai Citayam Fashion Week.Â
Melansir dari Republika.co.id salah satu media fashion asal Jepang Tokyo Fashion ikut menyoroti fenomena ini terkhusus pada postingan akun Twitter bernama Sofia Rina, dimana dalam unggahnnya tersebut ia menjelaskan mengenai Citayam Fashion Week disertai dengan beberapa foto.  "Ada ratusan bahkan ribuan anak muda yang memadati kawasan Jakarta Pusat, mulai dari Sudirman, Gatot Subroto, dan sekitarnya untuk menggelar show dengan selera fashionnya masing-masing," tulis @sofiaflorina.Â
Postingannya tersebut berhasil mencuri perhatian pihak Tokyo Fashion, mereka mengapresiasi fenomena Citayam Fashion Week menurut mereka ribuan anak muda yang berkumpul di kawasan tersebut, membuat jalanan di Jakarta Pusat menjadi hidup bahkan mereka membandingkannya dengan Harajuku.
Apa Itu Teori Kultivasi?
Lalu apa itu Teori Kultivasi? Dan apa kaitannya dengan fenomena Citayam Fashion Week ini? Pertama kita perlu memahami terlebih dahulu teori ini secara umum, Teori Kultivasi pada awalnya merupakan salah satu teori komunikasi massa yang mencoba menjelaskan hubungan antara media komunikasi dengan tindak kekerasan.Â
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh George Gerbner seorang Profesor asal Hungaria, sekaligus pendiri gerakan Cultural Environment Movement, ia pernah mengaitkan antara tindak kekerasan dengan perilaku menonton tv masyarakat Amerika Serikat.Â
Teori Kultivasi berasumsi bahwa pecandu televisi akan terbangun keyakinan/persepsi bahwa "dunia itu sangat menakutkan", hal ini terjadi karena persepsi mereka dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat di televisi. Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang dapat mempengaruhi masyarakat modern, karena televisi mampu memnampilkan berbagai simbol dengan sangat nyata.
Televisi yang menggabungkan komponen audio dan visual membuat khalayak lebih mudah menangkap pesan secara lengkap, setiap berita/informasi yang ditampilkan oleh televisi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Secara teori untuk membuktikan bahwa televise dapat mempengaruhi persepsi khalayak terhadap realitas, para ahli melakukan 4 tahap dalam penelitiannya mengenai Teori Kultivasi yaitu:
- Messages system analysis: menganailis isi berita dalam program televise
- Formulation of questions about viewers: membuat pertanyaan yang berkaitan dengan realitas sosial khalayak yang menonton televisi.
- Survey the audience: menanyakan kepada mereka mengenai apa yang mereka tonton di televisi.
- Compare the reality of audience: membandingkan realitas sosial antara peneonton setia televisi dengan mereka yang jarang menonton televisi. Fathul Ulum & Gathut Setiadi, PERANAN TEORI KULTIVASI TERHADAP PERKEMBANGAN KOMUNIKASI MASSA DI Â ERA GOBALISASI, Jurnal IAI Sunan Kalijogo Malang, (2019:46-47)
Teori ini lahir ketika terjadi perdebatan antara para ilmuwan komunikasi yang meyakini bahwa efek media massa sangat kuat (powerfull effects model), dengan mereka yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model).
 Teori Kultivasi ini menegaskan bahwa efek media massa bersifat kumulatif, artinya lebih banyak berdampak pada konteks sosial-budaya dan bukan individu atau personal. Junaidi, Mengenal Teori Kultivasi dalam Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, (2018:49-50). Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi media televisi mulai ditinggalkan, masyarakat kini beralih ke media sosial yang menyediakan lebih banyak menyediakan bergam informasi, bisa diakses dimanapun dan kapanpun selama perangkat terhubung ke internet.
Fenomena Citayam Fashion Week tentunya tidak lepas dari peran media sosial sebagai media komunikasi, sebuah tren yang mungkin awalnya terlihat biasa saja aka diikuti oleh jutaan orang di media sosial. Sama seperti tren-tren lain yang pernah muncul sebelumnya fenomena ini menunjaukan betapa kuatnya pengaruh pesan/informasi di media sosial, sehingga menimbulkan gerakan massa (social movement) yang begitu besar.Â
Dalam fenomena ini yang tergerak untuk melakukan (social movement) adalah anak-anak remaja dari berbagai usia, jika diamati secara kasat mata para remaja yang berkumpul di kawasan Taman Sudirman, tepatnya di depan Stasiun KRL Sudirman dan MRT Dukuh Atas BNI ini, meraka melakukan berbagai aktivitas mulai dari membuat konten Tiktok, bermain Skateboard, OOTD, atau hanya sekedar berkumpul bersama teman-temannya.
Menurut Para Tokoh
Melansir dari Tirto.id Wakil Gubernur DKI Jakarta Riza Patria juga ikut menanggapi fenomena Citayam Fashion Week ini, beliau menyatakan bahwa Jakarta adalah kota yang terbuka bagi semua orang termasuk masyarakat dari Bojong Gede dan Citayam. Politisi berusia 52 tahun itu juga memuji gaya berpakaian para remaja yang kerap berkumpul (nongkrong), di kawasan Jalan Raya Sudirman tersebut. "Enggak ada masalah saya lihat juga di medsos outfitnya, sepatunya keren-keren, produk lokal lagi," ungkap Riza dalam video diunggah di akun Twitter-nya @ArizaPatria (8/7/2022).Â
Terkait "Fashion Show" di trotoar yang videonya juga sempat ramai di media sosial beberapa waktu lalu, Wagub DKI itu menyatakan silahkan dengan waktunya "itukan kreasi anak-anak muda kita, videonya juga keren, anak Bojong Gede (dan Citayam) itu saudara kita dan warga lainnya juga, jadi boleh mai di Jakarta," ujarnya.
Sementara itu Sosiolog UGM Derajat Susilo Widhyarto menilai kemunculan Citayam Fashion Week adalah bagian dari pertukaran budaya baru yang dilakukan oleh anak-anak muda dan layak diapresiasi. Melansir dari detik.com beliau menyatakan bahwa salah satu karakter kaum muda adalah pencipta budaya (youth culture), fenomena ini menurutnya memiliki efek kebudayaan dan munculnya para ABG Citayam dan sekitarnya di ruang publik kawasan perkotaan sangat brilian.Â
Sebagai lokasi tempat berkumpulnya anak-anak muda sekaligus tempat berekspresi dengan bergaya busana yang baru dan variatif, karena pada dasarnya busana juga merupakan bagian dari kebudayaan yang dibutuhkan seluruh lapisan masyarakat.
"Ruang kota menawarkan tantangan baru yakni kesempatan untuk mendorong pembentukan budaya yang bisa diterima adalah fashion," ungkapnya, anak-anak muda yang melakukan peragaan busana di jalanan Ibukota tersebut umumnya bukan berasal dari Jakarta, melainkan dari daerah-daerah penyangga Ibukota mulai dari Depok, Bogor, Tangerang, hingga Bekasi.Â
Hal menarik lainnya adalah para remaja yang melakukan peragaan busana di kawasan Sudirman dan Dukuh Atas tersebut, kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah hal ini seolah menunjukan perlawanan terhadap budaya konsumerisme atau pamer kekayaan yang biasanya ditunjukan oleh para kaum Borjuis di media sosial.
Akademisi sekaligus Pebisnis Prof. Rhenald Kasali, Ph.D juga ikut mengomentari fenomena Citayam Fashion Week, menurut beliau fenomena seperti ini pernah terjadi pada negara-negara lain salah satunya adalah Jepang dengan Harajuku Style-nya. Mengutip dari PikiranRakyat.com, Harajuku Style merupakan budaya fashion di Jepang yang ada di jalanan atau istilah kerennya street fashion sama seperti yang terjadi di Indonesia saat ini dengan dengan munculnya Citayam Fashion Week.Â
Menurut Prof. Rhenald sejak fenomena ini muncul terjadi pro kontra di masyarakat, ada yang beropini bahwa kawasan SCBD (Sudirman) adalah daerah elit sekarang menjadi tempat pamer busana yang dianggap tidak pada pada tempatnya.
Ada juga yang tidak setuju karena banyak orang yang membuang sampah sembarangan jika tidak diawasi, kemdian beliau menjelaskan apabila kembali melihat sejarah Harajuku Style juga tidak terlalu digemari oleh orang-orang Tokyo, tapi begitu digemari oleh orang-orang pinggiran kota seperti Shibuya atau Yokohama. Sampai Harajuku bisa mendunia seperti sekarang bahkan menjadi salah satu kiblat fashion dunia, bukan karena digemari oleh orang kota tapi justru awalnya berkat orang-orang pinggiran kota hingga membuat tren Harajuku dikenal dunia.Â
Professor lulusan Universitas Indonesia 1985 itu menilai mungkin saja Citayam Fashion Week akan menjadi Harajuku versi Indonesia, fenomena ini juga berdampak baik bagi ekonomi lokal karena para pedagan kopi keliling di kawsan tersebut bisa mendapatkan omzet Rp.700rb per-hari.
Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dra Rachmah Ida, MCom PhD menilai bahwa fenomena ini, merupakan bukti ketika anak-anak muda tidak mendapatkan ruang untuk berekspresi dalam budaya mainstream. Melansir dari laman resmi Universitas Airlangga Unair.ac.id beliau melihat anak-anak muda dari berbagai daerah, menggunakan kawasa Sudirman sebagai ruang publik yang selama ini tidak mereka dapatkan di media mainstream atau di kawasan yang terlalu elit.Â
Kemudian Prof. Rachmah juga menjelaskan mengenai Dekonstruksi Tren Fashion, yakni tren busana yang selama ini didominasi oleh kalangan menengah ke atas kini bisa berubah dengan adanya fenomena Citayam Fashion Week ini. Anak-anak muda SCBD di Sudirman, berusaha melakukan dekonstruksi terhadap budaya fashion yang sealama ini terkesan terlalu mewah, dengan menyajikan fashion jalanan yang tidak kalah keren dengan fashion yang digunakan oleh kalangan atas.
Kesimpulan
Fenomena Citayam Fashion Week telah menjadi sorotan di media sosial tidak hanya ramai diperbincangkan oleh media Indonesia, tapi juga oleh media asing bahkan salah satu media fashion asal Jepang menyebut fenomena ini mirip dengan Harajuku di negara mereka. Banyaknya anak-anak muda khususnya remaja yang berkumpul di kawasan Stasiun Sudirman dan Dukuh Atas BNI dengan gaya berkapakaian yang nyentrik, berhasil membuat fenomena ini menarik perhatian publik. Teori Kultivasi menjelaskan mengenai pengaruh media komunikasi massa terhadap pola pikir dan perilaku khalayak, teori berasumsi bahwa khalayak akan dengan mudah menangkap pesan yang ditampilkan oleh media. Apalagi jika pesan tersebut berbentuk audio-visual, maka pesan tersebut akan membentuk pola pikir khalayak yang nantinya dilanjutkan dengan tindakan atau perilaku tertentu.
Teori Kultivasi muncul ketika terjadi perbedaan pandangan di antara para ilmuwan sebagian meyakini bahwa efek media sangat kuat terhadap masyarakat, sebagian lainnya meyakini bahwa efek media terbatas bagi masyarakat dengan kata lain tidak terlalu kuat. Fenomena Citayam Fashion Week merupakan salah satu bentuk nyata dari efek media sosial, sebagai media komunikasi massa yang dapat mempengaruhi tindakan dan perilaku khalayak. Bagaimana anak-anak muda dengan gaya berpakaian nyentrik, berkumpul di kawasan Sudirman untuk berekspresi dan menyalurkan hobi mereka kemudian menjadikannya konten, untuk disebarkan di media sosial yang pada akhirnya diikuti oleh banyak anak-anak muda lain.
Insight   Â
Pelajaran yang bisa kita ambil dari fenomena ini adalah pada dasarnya setiap tren yang mucul di media sosial kemudian menjadi sebuah fenomena yang ramai dibicarakan, selagi membawa dampak yang positif dan tidak merugikan masyarakat maka itu layak untuk diapresiasi. Termasuk anak-anak muda yang berkumpul (nongkrong) di satu tempat dengan gaya busana yang nyentrik, tidak ada masalah dengan itu karena mereka hanya berusaha mengekspresikan diri mereka sebagai anak muda. Bahkan jika dikaji dari perspektif ilmu Sosial-Budaya fenomena Citayam Fashion Week, merupakan salah satu bentuk kemunculan budaya baru diawali dari sebuah tren yang dilakukan oleh anak-anak muda (youth  culture). Selain itu tren ini juga dapat diartikan sebagai bentuk pemanfaatan ruang publik, untuk tempat berkumpulnya anak-anak muda (youth gathering place), sekaligus menjadi ajang pertukaran dan pembentukan budaya fashion baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H