"Plak"
Kau tampar aku saat aku tak bisa berhenti berbicara bersama emosiku. Saat aku menguak kenanganmu bersamanya. Saat aku mencoba menyudutkanmu bersama kesalahanmu, yang kuharap menjadikanmu merasa bersalah.
"Tidak bisakah kau berhenti menyudutkanku mas."
Kau mulai menangis setelah kau menamparku. Terlihat wajah pasrah, seakan memintaku untuk tidak berkata-kata lagi tentangmu, tentangnya, dan tentang rasa sakitku.
"Aku tidak mungkin marah, jika saja hal ini tidak menyesakan dadaku, sayang..."
Suaraku mulai pelan, melihatmu menangis dan rasa sayangku padamu telah meluluhkan amarahku.
"Aku hanya coba jujur, menceritakan apa adanya, tanpa ada maksud apapun, supaya mas tahu, kalau aku memang tidak melakukan apa-apa dengannya. Aku hanya penasaran dengan dia. Ingin mengetahui perasaan dia sebenarnya padaku. Nyatanya dia memang tidak cinta denganku."
"Iya, begitu!!" Langsung kupotong kata-katanya. "Kalau saja dia ternyata cinta padamu, lalu apa yang terjadi denganku? Kau seenaknya saja melakukan itu, seakan kau tak memikirkan perasaanku. Kau temui dia, dimana kau tahu kalau kita jauh, kalau kita susah bertemu. Kau di Semarang, sedangkan aku di Purwokerto, dia di Jogja. Bagaimana aku tahu apa yang terjadi nanti, melihat kau kemarin itu, telah berani menemuinya. Siapa yang tahu, dan bagaimana aku bisa percaya, kalau hal itu tidak akan terulang lagi." Aku mulai lagi memojokkanmu dan mulai lagi memarahimu lagi.
Kau diam, aku pun bingung harus berkata-kata apa lagi. Kita terdiam sejenak. Angin malam di penginapan itu seakan tidak peduli dengan tembok kamar yang menutupi kita dari luar. Dingin menusuk-nusuk tubuh letihku, yang selama 6 jam lebih, kutempuh perjalanan dari Purwokerto ke semarang dengan sepedamotor tua ku. Di penginapan, tempat biasa kita menikmati imbalan rindu yang menyiksa kita selama beberapa minggu ini, malah kau ceritakan hal yang menyesakkan dadaku kini. Kau ceritakan jika kau menemui Nugroho di Jogja, seminggu yang lalu. Dan kau sesakkan lagi dadaku dengan kau ceritakan kau menginap di sana, bersamanya. Alasanmu karena waktu yang sudah malam, kau begitu saja mau menginap bersamanya.
"Mas, sumpah mas... Aku tidak melakukan apapun dengannya, bahkan aku menceritakanmu. Aku menangis saat ingat kau, walau aku bersamanya. Aku menangis karena aku merasa telah menghianatimu, mas..." Di sela-sela isak tangis mu kau seakan meyakinkanku dan mencoba meberiku ketenangan.
"Ya sudahlah, aku pergi saja, terserah kau mau pulang naik apa, ini aku masih ada uang untuk kau pulang besok. Naiklah angkot atau apapun untuk pulang besok. Malam ini aku mau pergi, dan kau tak usah tanyakan kemana aku pergi. Tak usah kau pikirkan aku mau apa." Tanpa menghiraukan tangisnya, aku bangkit dari bibir kasur, lalu aku pakai jaket dan mengambil kontak motor yang tergeletak di atas TV.
"Jangan pergi mas, mau kemana? Sudahlah..." Kau memegang ujung lengan jaket lusuhku, seperti ketakutan aku tinggalkan.
Aku singkirkan tangannya, "Sudahlah! Terserah kau mau apa, aku sudah tidak kuat!"
Aku bergegas membuka pintu dan pergi meninggalkan dia menangis di sudut kasur di salah satu kamar penginapan itu. Aku pergi dengan motorku, walaupun aku sendiri bingung arah tujuanku sendiri pergi, mungkinkah pulang, mungkinkah aku harus kemana lagi. Rasa sakit dan sesak di dadaku seakan membuatku jatuh di kedalamaan lukaku sendiri.
Kupacu motorku meninggalkan penginapan di daerah Bandungan itu. Sudah sekitar 5 kilometer kulalui jalan berliku di Bandungan ini. Kuhentikan motorku, ketika kulihat sebuah warung kopi di bibir jalan. Ku taruh motorku asal taruh saja di depan warung itu.
"Monggo mas... " Ibu setengah baya keluar dari belakang warung itu, karena mendengar suara motorku yang keras mungkin.
"Bu, kopi hitam satu, yang ketal, jangan terlalu manis, pakai gelas gede sekalian, bu."
Beberapa menit kemudian ibu itu keluar membawa pesanan kopiku. "Sekalian mie rebusnya, mas?"
"Tidak bu, terimakasih." Sambil tersenyum kutolak tawaran ibu itu.
Rasa sesakku kuharmburkan dengan kopi hitam kental, sepekat hatiku sekarang ini. Bagaimana mungkin aku bisa mencintaimu jika kau begitu kejam telah berani menghianatiku. Bagaimana bisa aku lupakan kisahku denganmu yang sudah 4 tahun berlalu ini. Nugraha, pria yang kau cintai dulu, aku kira kau sudah melupakannya setelah kau kini bersamaku. Nugraha, dia adalah masa lalumu, mengapa kau masih mencoba lagi. Mengapa kau tidak bisa melupakannya. Apakah masih kurang kau cukupkan aku untukmu.
Udara semakin dingin, mendinginkan kopi di depanku yang tadi kurasa masih begitu panasnya. Mendinginkan pikiranku yang tadi bergolak seperti ombak tsunami tadi. Aku tak mungkin meninggalkan kau, kekasihku. Kemana lagi aku mencoba mencintai lagi, saat kau sudah begitu dalam masuk ke jantung dan hatiku. Sejenak aku sadar. Bagaimana jika yang dikatakanmu benar, bagaimana jika memang kau benar-benar menjaga cintaku, bagaimana jika kau jujur karena dia begitu jujur, sampai kau katakan yang menyakitkanku. Karena aku sendiri yang memintamu tadi, kejujuran adalah pahit, sepahit apapun akan aku terima, sehingga kau mau menceritakan pertemuanmu dengannya.
"Bu, sudah bu, berapa bu?'
"Tiga ribu saja, mas."
Aku ambil uang tiga ribu dari kantongku, dan kubayarkan pada ibu itu. Segera aku ke motor, lalu aku balikan arah motor ku, dan menuju penginapan itu. Jantungku berdebar-debar, serasa seperti sewaktu bertemu denganmu untuk pertama kalinya. Aku pacu motorku cepat-cepat, seakan tak ingin tertinggal oleh waktu yang sudah jam 00.30 ini.
Setiba nya di depan penginapan kuparkirkan motorku begitu saja, langsung kutuju pintu kamar penginapan itu, kubuka pintu yang ternyata belum terkunci. Kau masih disana, masih menangis di sudut kasur itu. Aku terdiam, aku tak bisa berkata-kata. Kau sadar melihat ada yang membuka pintu, aku. Kau lari kepadaku. Akupun menghampirimu.
Kau dekap aku begitu kencang, masih sambil menangis.
"Mas, jangan tinggalkan aku, sumpah, aku menyesal! Aku hanya mencintaimu! Tolonglah aku untuk jangan membahas dia lagi..." Kau katakan dengan isakmu, semakin erat kau peluk dan dekap aku.
"Iya, aku maafkan kamu, sayang, tak mungkin aku tidak percaya padamu, sudahlah..." Kucium rambut panjangnya disela pelukanku.
Malam itu kami habiskan begitu indah dengan celoteh bahagia, celoteh rindu tentangku dan kau.
***
Beberapa tahun berlalu, hingga kunikahi kau, kekasihku. Adalah bahagiaku, ketika ternyata di malam pertama kita, kau masih suci, darah kesucianmu menjawab rasa percayaku. Untukmu kekasihku, sampai kapanpun aku selalu mencintaimu, dan akan terus mempercayai kesetiaanmu yang begitu hebat.
***
dari wordpress saya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H