Puas di kuil tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan. Tadinya saya berpikir untuk langsung ke hotel. Namun kemudian si sopir tuk tuk tersebut menawarkan kami ke lokasi pembuatan dan penjualan batu permata dan perhiasan. Rupanya waktu di kuil tadi atasan saya sempat berbincang-bincang mengenai batu permata Sri Lanka. Saya merasa kecurigaan saya tadi mulai terbukti. Saya menyampaikan perasaan gak enak yang terpikir kepada atasan dan menawarkan untuk langsung ke hotel saja. Namun si sopir tuk tuk terus berusaha meyakinkan kami untuk berkunjung dan hanya melihat-lihat sebentar saja. Mengingat laju tuk tuk sudah mengarah ke jalan menuju lokasi, tanpa bisa dicegah akhirnya kami pasrah.
Rupanya di jalan atau jalan tersebut terdapat beberapa rumah yang membuat dan sekaligus tempat penjualan batu permata dan perhiasan. Kami dibawa ke salah satu rumah. Di sana telah menunggu beberapa orang berdasi dan menyambut kami dengan ramah. Sementara sopir tuk tuk tadi ijin menunggu di luar. Oleh salah seorang dari mereka kami di bawa ke sebuah lorong.
Di muka lorong tersebut terlihat miniatur layaknya lokasi penambangan tradisional. Kemudian di depannya duduk seorang pekerja yang sedang memperhalus batu permata. Sambil melangkah si petugas memberikan penjelasan. Saya tidak terlalu konsentrasi dengan penjelasan tersebut. Saya hanya berpikir apa yang akan kami hadapi.
Kami lalu dibawa ke salah satu ruangan tempat menyimpan berbegai jenis batu permata utuh. Ruangan tersebut sangat tertutup. Saya sudah membayangkan yang bukan-bukan. Lalu masuk seorang lagi yang kemudian memperkenalkan diri sebagai manager di sana. Dia pun menjelaskan panjang lebar kepada kami mengenai beberapa jenis batu yang ada di ruangan tersebut. Kami menyimaknya namun tetap awas dengan sekeliling. Sampai beberapa waktu penjelasannya cukup membuat kami yakin. Kami terus mengikuti alur dan sesekali memberikan respon sekedarnya.
Setelah memberikan penjelasan mengenai bebatuan di ruangan tersebut si manager menjelaskan tentang dirinya sendiri. Dia mengatakan bahwa dia mengambil studi khusus untuk mempelajari batu-batuan di Amerika. Dia menunjukkan beberapa bukti termasuk ijazah atau sertifikat yang berhasil didapatkannya. Dari sini saya mulai tidak yakin dengan kondisi yang ada.
Belum lepas ketidakyakinan saya, kami lalu dibawa ke ruangan yang lebih tertutup lagi. Rupanya di ruangan itulah gallery tempat penjualan perhiasan yang sudah jadi. Kami langsung ditawarkan sebuah cincin berhiaskan batu permata. Dia menawarkan kepada atasan saya dan menjelaskan panjang lebar mengenai cincin tersebut. Untuk tahap awal dia membuka harga US$ 350 dan langsung menyuruh anak buahnya untuk menuliskan nota pembayaran. Waduh, permainan dimulai nih, pikir saya. Dengan halus atasan saya menolak dan menjelaskan bahwa kita disana ingin melihat-lihat dulu.
Seolah tidak mau kalah, si manager tadi kemudian kembali menjelaskan, berusaha memakaikan cincin tersebut dan kemudian menuliskan angka diatas kertas lagi. Saya lihat angka yang dia tulis, US$ 175, setengah dari harga awal. Kembali atasan saya berusaha menolak.
Si Manager kemudian beralih ke saya dan memberikan saya sebuah gelang rantai perak. Dia juga berusaha memberikan penjelasan dan mencoba meyakinkan kalau gelang rantai tersebut sangat cocok buat saya. Dia memberikan harga US$ 250. Lagi-lagi kami berusaha menolak. Dia lalu menurunkan harganya menjadi US$ 195. Sekali lagi kami menolak secara halus dan terpaksa kami mencari alasan bahwa kami sedang ditunggu mitra kami di hotel.
Sampai di sini dia mulai terlihat kesal. Dia bertanya, kenapa dari tadi kami hanya bilang menolak tanpa memberikan penawaran atas harga yang dia tawarkan. Dengan tetap tenang kami mencoba menjelaskan kepada dia bahwa kami baru pertama kali datang ke tempatnya dan masih banyak waktu. Jika kami tertarik nantinya kami akan datang lagi. Sekali lagi kami katakan bahwa kami harus segera kembali ke hotel.
Dia mencoba meyakinkan bahwa jika kami tidak membelinya sekarang belum tentu penawarannya akan seperti ini. Kami pun tidak mau kalah. Untuk meyakinkan dia bahwa kami tertarik dengan penjelasannya saya minta kartu nama dan nomor teleponnya. Akhirnya dia pun mengalah dan menyarankan kami untuk kembali lagi nantinya. Kami pun mengucapkan terima kasih dan beranjak dari ruangan tersebut tanpa di antar layaknya kami datang tadi. Sebuah negosiasi yang alot, hehehe.
Kami pun beranjak dari lokasi tersebut dengan menumpang tuk tuk yang tadi. Saya merasakan ada yang aneh, sopir tuk tuk yang tadinya ramah dan agresif mengajak ngobrol, berubah diam dan ngebut seolah mengejar setoran. Wah ada apa ini? Tapi kami membiarkan saja kondisi itu. Akhirnya sampai juga kami di hotel. Saya lihat jam di tangan, total dua jam perjalanan. Saya pun mengeluarkan 400 rupee dari dompet. Ternyata sopir tuk tuk tersebut menolak. Saya bertanya kenapa menolak, bukannya perjanjiannya tadi 200 rupee untuk satu jam perjalanan. Dia menolak, 200 rupee untuk satu orang, dua orang berarti 400 rupee, dua jam berarti 800 rupee.