Pendidikan adalah hak penting bagi setiap individu tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau status sosial. Namun, pendidikan inklusif masih menjadi tantangan besar di banyak negara, termasuk Indonesia. Putra (2024) menyebutkan data Biro Pusat  Statistik melaporkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada 2020 sebanyak 22,5  juta  jiwa  atau  setara  lima  persen  dari  keseluruhan  populasi  di  Indonesia.  Sedangkan,  PBB  mencatat terdapat  lebih  dari  1  miliar  penduduk  dunia  hidup  sebagai  penyandang  disabilitas. Pendidikan inklusif atau inklusi dalam Meka, et al., (2023) adalah istilah yang diperkenalkan oleh UNESCO, berasal dari konsep Education for All, yang berarti pendidikan yang dapat diakses oleh semua orang. Pendekatan ini berupaya memastikan bahwa setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki hak dan peluang yang setara untuk mendapatkan manfaat optimal dari pendidikan.
Sehubungan dengan itu, hak dan kesempatan tersebut tidak dibatasi oleh perbedaan karakteristik fisik, mental, sosial, emosional, maupun status sosial ekonomi. Konsep pendidikan inklusif ini sejalan dengan filosofi pendidikan nasional Indonesia, yang menekankan bahwa akses pendidikan harus terbuka bagi semua peserta didik, tanpa memandang kondisi awal atau latar belakang mereka. Pendidikan inklusif tidak hanya ditujukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, tetapi juga mencakup semua anak. Pendidikan inklusif juga mengacu pada sistem pendidikan yang memastikan semua peserta didik, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, mendapatkan akses yang setara terhadap pembelajaran. Dalam konteks ini, aksesibilitas menjadi kunci untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.
Dalam penyediaan aksesibilitas pendidikan inklusif memiliki dasar prinsip yang dijelaskan dalam Putra (2024) terdapat empat prinsip dasar yang harus diperhatikan. Pertama, asas kemudahan, yang menekankan bahwa setiap orang harus dapat dengan mudah mengakses tempat atau bangunan umum. Kedua, asas kegunaan, yang berarti semua orang harus dapat memanfaatkan fasilitas di tempat atau bangunan umum tanpa hambatan. Ketiga, asas keselamatan, yang mengharuskan setiap bangunan dirancang untuk menjamin keselamatan semua pengguna, termasuk penyandang disabilitas. Keempat, asas kemandirian, yang memastikan bahwa setiap individu dapat mengakses dan menggunakan fasilitas secara mandiri tanpa memerlukan bantuan orang lain..
Dengan demikian aksesibilitas bergantung pada beberapa aspek penting, diantaranya; Pertama, aksesibilitas fisik, yaitu lingkungan atau  bangunan  dalam  bentuk  fisik  yang  disediakan  untuk disabilitas  agar  dapat  dilewati,  dimasuki,  dihampiri  secara  mandiri  tanpa  membutuhkan  bantuan. Sekolah harus menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas, seperti jalur khusus (ramp) untuk kursi roda, lift di bangunan bertingkat, dan ruang kelas yang dapat diakses oleh siswa berkebutuhan khusus. Selain itu, diperlukan fasilitas tambahan seperti toilet yang dirancang khusus untuk siswa penyandang disabilitas, jalur pemandu untuk siswa dengan gangguan penglihatan, dan papan tulis digital yang ramah bagi siswa dengan gangguan penglihatan. Lampu peringatan visual atau sistem suara tambahan juga penting untuk siswa dengan gangguan pendengaran. Kedua, tenaga pendidik terlatih yang di mana Guru harus dilatih untuk mengimplementasikan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pelatihan ini mencakup pemahaman tentang metode pengajaran berbasis diferensiasi, keterampilan menggunakan alat bantu pendidikan khusus, serta kemampuan untuk mendukung perkembangan sosial dan emosional siswa berkebutuhan khusus (ABK) dan disabilitas. Ketiga, kurikulum yang fleksibel. Kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik agar mereka dapat belajar secara optimal. Hal ini melibatkan modifikasi konten, metode, dan evaluasi yang memungkinkan siswa ABK mencapai potensi maksimalnya tanpa merasa tertinggal.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Putra (2024) fasilitas umum seharusnya dirancang untuk dapat diakses oleh semua orang tanpa terkecuali, termasuk penyandang disabilitas. Namun, kenyataan bahwa banyak infrastruktur publik tidak ramah disabilitas dapat memicu rasa frustrasi atau bahkan depresi. Beberapa contoh kendala yang sering dihadapi meliputi trotoar yang tidak memadai, jalan dengan permukaan tidak rata, pintu yang terlalu sempit, ketiadaan lift di gedung bertingkat, area parkir khusus yang tidak tersedia, toilet yang tidak sesuai kebutuhan, dan berbagai hambatan lainnya.
Sedangkan dalam Nasir (2024) diperlukan langkah-langkah strategis yang meliputi pembuatan peta aksesibilitas untuk menunjukkan lokasi dan kondisi sarana prasarana yang inklusif serta mudah diakses oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Selain itu, pemasangan rambu-rambu dan petunjuk yang jelas, tersedia dalam berbagai bahasa termasuk Braille, menjadi hal penting untuk mempermudah navigasi. Keamanan dan kenyamanan juga harus dijamin dengan memastikan lantai tidak licin, tangga dilengkapi pegangan tangan, dan toilet memiliki ruang serta fasilitas yang mendukung pengguna kursi roda. Tidak kalah penting, penyediaan peralatan dan teknologi bantu, seperti kursi roda, alat bantu dengar, dan perangkat lunak pembaca layar, sangat diperlukan untuk memastikan semua pengguna dapat mengakses dan menggunakan sarana madrasah secara mandiri dan nyaman.
Dalam Nasir (2024) juga mmenjelaskan untuk membangun sumber daya manusia yang kompeten dalam pendidikan inklusif memerlukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru serta staf madrasah. Salah satu langkah utama adalah menyelenggarakan program pelatihan yang mencakup materi tentang konsep dan prinsip pendidikan inklusif, strategi pembelajaran inklusif, serta manajemen kelas yang ramah bagi semua siswa. Selain itu, memberikan kesempatan magang di madrasah inklusif lainnya juga sangat penting. Melalui magang ini, guru dan staf dapat belajar langsung dari pengalaman dan praktik terbaik yang diterapkan, sehingga mampu mengembangkan kompetensi mereka dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan efektif.
Menurut Sulaeman & Trustisari (2024) untuk mewujudkan pendidikan inklusif di sekolah, langkah awal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kompetensi tenaga pendidik dan staf sekolah. Sekolah dapat menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi khusus bagi guru dan tenaga kependidikan terkait metode pengajaran yang inklusif serta pemahaman tentang kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Hal ini akan mempersiapkan guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran sehingga dapat diakses oleh semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Selain itu, penting bagi sekolah untuk melibatkan tenaga ahli atau konsultan yang memiliki keahlian dalam pendidikan inklusif. Para ahli ini dapat mendukung guru dalam menyesuaikan kurikulum dan memberikan bimbingan untuk pelaksanaan pembelajaran inklusif. Pembentukan unit layanan khusus disabilitas di sekolah juga menjadi strategi krusial untuk menyediakan dukungan yang diperlukan oleh siswa berkebutuhan khusus, sekaligus membantu pengembangan kebijakan dan implementasi strategi inklusif di lingkungan sekolah.
Modifikasi dan penyesuaian kurikulum merupakan langkah penting dalam mewujudkan pendidikan inklusif di sekolah. Kurikulum yang ada perlu ditinjau ulang dan disesuaikan untuk mencakup berbagai metode pengajaran, penilaian, dan materi pembelajaran yang dapat diakses oleh semua siswa. Sekolah juga perlu mengintegrasikan teknologi bantu, seperti perangkat pembaca layar untuk siswa dengan gangguan penglihatan atau alat pendukung lainnya, ke dalam proses pembelajaran. Penggunaan teknologi ini akan membantu siswa berkebutuhan khusus untuk mengikuti kegiatan belajar dengan lebih efektif dan memastikan mereka memiliki kesempatan yang setara untuk meraih kesuksesan akademik (Sulaeman & Trustisari, 2024).
Beberapa faktor penentu aksesibilitas ini mencakup kebijakan pendidikan yang mendukung. Namun, ada sejumlah tantangan masih perlu diatasi. Tantangan utama yang sering dihadapi antara lain keterbatasan dana untuk memperbaiki infrastruktur, rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pendidikan inklusif, serta kurangnya keterampilan guru dalam mengelola kelas yang beragam. Hal ini mengharuskan adanya upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang benar-benar inklusif dan dapat diakses oleh semua kalangan. Seperti yang dijelaskan Muhibbin & Hendriani (2021) masyarakat seringkali memandang siswa difabel sebagai individu yang perlu dikasihani, dan guru pun merasa kesulitan mengajar siswa berkebutuhan khusus. Pandangan ini mempengaruhi pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah. Banyak yang masih menganggap penyandang disabilitas sebagai orang yang cacat dan perlu disembuhkan, padahal pandangan yang lebih tepat adalah dengan mengutamakan keterlibatan masyarakat dalam mendukung siswa difabel. Namun, masih banyak sekolah yang kesulitan dalam menerima siswa difabel, terutama karena terbatasnya fasilitas dan pelatihan guru. Kurikulum yang ada juga belum sepenuhnya mendukung kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
Untuk mengatasi tantangan aksesibilitas pendidikan inklusif, beberapa solusi perlu diterapkan. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan anggaran untuk infrastruktur sekolah, memastikan fasilitas ramah disabilitas tersedia. Kedua, pelatihan bagi guru dalam mengelola kelas inklusif harus diperkuat, termasuk penggunaan teknologi pembelajaran yang mendukung. Ketiga, kampanye kesadaran tentang pentingnya pendidikan inklusif bagi masyarakat perlu digalakkan untuk mengubah persepsi yang keliru. Dalam Khhairuddin (2020) dijelaskan untuk mengatasi tantangan ini, penting untuk memberikan pelatihan kepada guru agar mereka dapat mengajar siswa difabel dengan cara yang sesuai. Kurikulum juga perlu dimodifikasi agar lebih inklusif dan bisa mengakomodasi siswa difabel. Selain itu, fasilitas fisik seperti jalan bebas hambatan dan ruang kelas yang dapat diakses dengan mudah juga harus disediakan. Sekolah harus memastikan bahwa proses penerimaan siswa lebih fleksibel, memberi kesempatan yang sama bagi siswa difabel untuk bersekolah.