Mohon tunggu...
Sartana -
Sartana - Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya tertarik dengan kajian tentang dampak perkembangan tekhnologi terhadap perilaku (cyberpsychology), diri dan identitas, metode penelitian serta Psikologi Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Vicky: Tekhnologi dan Psikologi

12 September 2013   09:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:01 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena Vicky Prasetya dengan gaya bahasanya yang lebay, di satu sisi telah membuka sedikit “aurat” kita. Tentang lambatnya otak dan daya belajar kita untuk mengimbangi laju tekhnologi yang berlari sangat cepat. Vicky tidak sendiri. Banyak orang serupa di sekitar kita. Bahkan mungkin kita sendiri adalah jenis Vicky yang lain. Hanya kebetulan dia tersorot oleh kamera media, sementara kita tidak.

Vicky hanyalah seorang individu yang berusaha tampil sebagai orang yang bisa beradaptasi dengan zaman. Supaya ia terlihat keren dan trendi saat hadir di depan kamera. Seperti pakaian necis yang dikenakannya dan gaya rambutnya yang rapi bin mengkilap. Juga seperti mukanya yang nampak bersih, atau rumah dan mobil mewahnya yang dapat ia banggakan juga memelet beberapa wanita.

Sayangnya, sejauh ini belum ada tekhnologi yang dapat “menyalon” otak seseorang, sehingga seseorang bisa tampil seperti “Einstein” setelah sedikit dipermak otaknya. Meskipun di film-film ada semacam perkemahan untuk mencuci otak, namun sejauh ini di Indonesia belum ada badan usaha yang secara khusus menyewakan jasa untuk “laundry” otak, sehingga dengan cepat orang dapat membersihkan spot-spot kebodohannya.

Bahkan Departemen Pendidikan yang dananya melimpah ruah, tidak secara mulus untuk memperbaiki isi, valensi, dan struktur pikiran sebagian bangsa ini. Sebagian orang mengatakan proses pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan, sebagai pemerhalus kata “gagal”. Peringkat kualitas pendidikan di Indonesia masih kalah dengan beberapa negara tetangga. Itu pun sudah di biayai dengan dana trilyunan.

Melihat kasus Vicky sebenarnya kita sedang melihat kegagapan kita sendiri pada perkembangan tekhnologi. Melihat mentalitas kita yang jalan di tempat, di tengah perubahan-perubahan yang melaju begitu cepat. Melihat ketidaksesuaian dari alat-alat yang kita beli dan miliki, aksesoris hidup kita yang terus bertambah, dan gaya penampilan kita yang terus berubah, dengan otak kita seringkali merangkak begitu lambat.

Saya ingin menyebut orang-orang seperti Vicky ini sebagai “korban-korban tekhnologi”. Tepatnya, salah satu jenis korban tekhnologi. Orang menampilkan diri melenceng jauh dari keasliannya karena tujuan tertentu. Takut menjadi dirinya sendiri dan tampil dengan topeng yang sama sekali jauh dari kemampuannya untuk mengenakan topeng bersangkutan. Seperti seorang bocah sekolah dasar yang berusaha mati-matian untuk memainkan peran seorang profesor.

Dalam pergaulan sehari-hari, sebenarnya cara hidup demikian merupakan hal yang biasa dan normal terjadi. Seperti yang diutarakan Goffmann (1959) bahwa kehidupan sosial merupakan sebuah panggung sandiwara. Di tengah panggung sosialnya, seseorang berusaha tampil tertentu agar orang memiliki kesan positif pada dirinya. Namun ketika tampil sebagai orang terentu dalam kehidupan sosialnya tersebut, individu memiliki rujukan pengetahuan atau standar perilaku yang sudah mereka sepakati secara kolektif. Dengan demikian, pada dasarnya orang hanya mengaktivasi bagian dari dirinya yang sesuai dengan situasi yang di hadapi.

Sementara dengan perkembangan tekhnologi seperti sekarang, kesepakatan-kesapakatan kolektif demikian menjadi begitu kabur. Orang kadang dituntut untuk memainkan peran-peran baru yang sebelumnya tidak pernah ia perankan. Dalam tinjuan psikologi kognitif, individu belum memiliki skema-skema yang dapat ia aktivasi. Sehingga ia butuh membangun skema yang baru. Namun dengan gerakan perubahan yang begitu cepat, informasi yang melimpah, tuntutan peran-peran baru yang juga begitu cepat, proses pembentukan skema itu juga menjadi tidak mudah. Apalagi untuk sampai menjadi skema yang menetap.

Seperti kasus yang terjadi pada Vicky. Ia yang tidak biasa tampil di media, karena tuntutan keadaan, mendadak harus memerankan sosok selebritis. Saat di depan kamera, barangkali ia hanya berfikir yang penting terlihat keren, terlihat “ngintelektual” saat bicara. Jadi cocok antara penampilan dengan yang keluar dari mulutnya. Dengan demikian, orang akan memiliki kesan bahwa dia sebagai orang yang “wow”.

Pada akhirnya, ketiadaan skema, pengetahuan dan pengalaman menjadi selebritis itu mendorong dirinya tampil dengan skema kognitif yang kabur. Melakukan improvisasi agar tujuannya tercapai. Ia menampilkan diri sebagaimana diri yang ia imajinasikan, yang dalam kenyataanya jauh dari potensi yang dia miliki. Ia pikir hal itu akan semudah ia menyulap tampilan fisiknya.

Namun ternyata, untuk mengupdate “software” seseorang tidak semudah mengupdate “hardware”. Orang tinggal tinggal pergi ke salon untuk ganti baju, sepatu, potongan rambut, tinggap pergi ke show room untuk ganti mobil, atau tinggal kontak seseorang untuk ganti pasangan kalau mereka punya uang banyak. Namun untuk mengganti “software” orang butuh proses yang panjang.

Dan kegagalan Vicky untuk mengupdate sofware itu, membuat dia gagal untuk mengimbangi peran yang ingin dia mainkan, sehingga hasil sebaliknya yang terjadi. Ia menjadi salah satu tokoh superlucu dan super*** di jagad media Indonesia. Namun bagaimana pun, kehadiran Vicky di tengah belantara kehidupan modern kita tetap memiliki arti. Setidaknya kita bisa belajar banyak hal dari dia, sehingga kita lebih mengenal diri kita sendiri dan orang-orang sekitar kita.

Jogjakarta, 12 Septemper 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun