Gerak perubahan akibat perkembangan tekhnologi sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Kecuali Tuhan tiba-tiba turun tangan karena suatu alasan. Ia akan melacu semakin cepat dan semakin cepat. Dalam sudut pandang yang lain, ia sudah seperti singa liar yang tanpa pawang.
Ketika tekhnologi sederhana bermula, ia lahir dibidani oleh beberapa orang jenius pada zamannya. Bisa kita sebut beberapa nama, seperti Alexander Graham Bell, James Watt, Thomas Alva Edison, dan sebagainya.
Semakin hari, jumlah orang-orang jenius itu semakin bertambah dan terusbertambah. Dan sekarang ini, tekhnologi yang dilahirkan oleh jenius-jenius pada masa dulu itu telah beanak pinak bahkan kemudian mereka dapat melahirkan orang-orang jenius baru.
Sebutlah Internet dan komputer. Peran mereka telah melampaui peran yang bisa dimainkan oleh guru di ruang kelas atau dosen di ruang kuliah. Orang dapat belajar, bertanya, berdiskusi, juga melatih dan menerampilkan diri dengan dua cucu kandung tekhnologi itu.
Itu artinya, dengan dua produk tekhnologi itu dapat menumbuhkan ribuan bahkan jutaan jenius baru di kemudian hari. Hari ini barangkali genius-genius yang lahir di ruag kelas dunia maya tersebut belum banyak dan menonjol. Namun, seiring berkembangnya waktu, dalam beberapa tahun ke depan, kita akan menyaksikan bahwa banyak sekali ilmuwan-ilmuwan baru yang telah belajar dari banyak guru dan berhasil meramu dari banyak macam ilmu, yang mereka semua lahir dari ruang kelas dunia maya.
Sehingga, sekarang ini ada realitas yang terbalik, dimana tekhnologi telah menjadi produsen orang-orang jenius baru, sementara pada waktu dulu para genius lah yang memproduksi tekhnologi. Ini akan menjadi realitas yang sangat menarik untuk kita cermati. Karena masa depan kita akan tergantung pada model para jenius seperti apa yang dilahirkan peralatan tekhnologi.
Apakah yang lahir adalah manusia-manusia robot yang tanpa nurani? Orang-orang yang memuja rasionalitas, individualitas, kreatifitas tanpa batas, dan liberalisme tanpa tepi. Orang-orang yang tidak peduli pada hidup orang lain dan semata hidup untuk kejayaan sendiri.
Atau, apakah yang akan lahir model jenius yang lain? Jenius yang tidak lagi terikat dan terkotak pada semboyan, semangat, nilai serta normal lokal. Mereka yang mengagungkan nilai-nilai humanisme universal, berfikir mondial, dan kesetaraan tanpa terjebak pada identitas-identitas suku, agama, bangsa, dan yang lainnya.
Itu masih sulit ditebak, tetapi bahwa akan lahir bayi-bayi genius baru anak kandung tekhnologi itu sudah pasti terjadi. Dan pertanyaan yang terpenting dari beberapa pertanyaan di atas adalah : Apakah manusia akan menjadi tuan bagi tekhnologi atau sebaliknya?
Beberapa tokoh barangkali pernah mengajukan pertanyaan serupa. Meskipun pertanyaan itu selalu tanpa jawab, tetapi ia memang harus lebih sering untuk dipertanyakan dan dipertanyakan ulang. Harus selalu ada orang yang menyadarkan manusia tentang kemanusiaannya, meskipun dengan pernyataan dan pertanyaannya itu ia akan dianggap nyiyir atau bodoh.
Dan jawaban saya atas pertanyaan itu juga sangat spekulatif serta kontemplatif. Spekulatif karena ia hanya merupakan perkiraan-perkiraan yang bisa terjadi atau tidak tergantung banyak prasyarat dan prakondisi yang mendahuluinya. Kontemplatif karena ia saya tujukan agar orang mencari jawabnya dengan merenung atau merefleksikan pengalamannya sendiri.
Manusia sangat mungkin untuk menjadi budak tekhnologi. Paling tidak, akhir-akhir ini ia telah menggantikan posisi, guru, orang tua, teman, bahkan tuhan bagi sebagian orang. Sementara tekhnologi baru akan semakin membuat orang menjadi lebih intim dengan tekhnologi. Karena kebanyakan dari kebutuhan orang telah dapat mereka penuhi, seperti kebutuhan sosial, ekonomi, politik, aktualisasi diri, pengakuan, dan banyak lagi yang lain. Hanya butuh satu langkah bagi tekhnologi untuk menyempurnakan dominasinya atas manusia, yaitu ketika mereka dapat memenuhi kebutuhan perut. Dan para jenius baru sudah siap untuk menjawab pertanyaan itu.
Bagi manusia lama, barangkali dominasi itu memang tidak akan pernah sampai pada titik sempurna. Karena skema kognitif yang mereka bangun sebelum akrab dengan tekhnologi memang harus dipenuhi oleh sesuatu yang tidak bisa dipenuhi tekhnologi. Tetapi tidak dengan manusia-manusia baru, generasi milenium, yang bahkan sebelum mereka lahir ke dunia sudah diakrabkan dengan tekhnologi.
Mereka mungikin akan menjadi orang-orang autis secara sosial dalamm ukuran kehidupan nyata orang zaman dahulu, namun mereka adalah orang-orang yang normal dalam standar nilai dan norma budaya masyarakat milenium. Mereka adalah orang-orang baru dengan “tuan” baru mereka, tekhnologi. Kenyataan demikian, sangat sulit untuk kita hindari apalagi untuk kita tolak. Itu artinya, perubahan tidak memberi pilihan pada kita : mengikuti atau binasa karena seleksi alam.
Jogjakarta, 14 September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H