Mohon tunggu...
Zarmoni
Zarmoni Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penggiat Seni dan Budaya Kerinci

Penggiat Seni, Adat dan Budaya Kerinci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Legenda Batu Tangkut (Dongeng dari Kerinci Jambi)

14 Juni 2024   11:02 Diperbarui: 15 Juni 2024   13:34 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BATU TANGKUT

Oleh Zarmoni

Cerita Rakyat Kerinci Berasal dari daerah Siulak

Syahdan pada zaman dahulu kala, di sebuah dusun di Kerinci Provinsi Jambi, hiduplah sebuah keluarga sederhana, yang terdiri dari seorang ayah bernama Kasri, dan seorang ibu bernama Ratna. Mereka mempunyai seorang anak semata wayang, seorang gadis kecil bernama Puti Intan.

Keluarga tersebut hidup bahagia, anak semata wayang itu dimanja oleh kedua orangtuanya, sehingga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang kerjanya hanya sibuk bermain setiap hari, sedangkan untuk memasak, mencuci pakaian, menyapu rumah, dikerjakan oleh ibunya.

Karena selalu dimanja oleh orangtuanya, Puti menjadi malas untuk mengerjakan apapun, ia senantiasa makan, minum, dan bermain bersama teman-temannya, bahkan ia malas untuk belajar mengaji ke surau.

Pada suatu hari ibunya akan berangkat kesawah untuk menanam padi bersama ayahnya. Sang ibu berkata “Puti, ibu akan kesawah bersama ayah, nanti tolong masakkan nasi dan angkat jemuran karena biasanya selepas zuhur hari akan hujan..” kata ibunya.

“Baik bu” jawab Puti seraya malas-malasan di tempat tidurnya.

“Sekalian jangan membuat sampah dirumah ya nak!” ujar Ibunya seraya berangkat kesawah bersama suaminya seraya membawa jangki.

Akhirnya tatkala ayah dan ibunya sudah pergi kesawah, Puti melanjutkan tidurnya sampai jam 10 pagi, dan ketika bangun ia tidak mencuci wajahnya, apalagi menggosok gigi. Ia langsung kedapur dengan wajah malas, rambutnya tidak disisir dan langsung mengambil piring untuk makan.

Setelah makan, ia bermain dirumah bersama kawan-kawannya, rumah yang awalnya bersih menjadi berantakkan, ia sibuk main kejar-kejaran, main masak-masakan, dan membuat sampah yang banyak bertebaran.

Tidak terasa, waktu zuhurpun datang, langit begitu gelap, awan hitam berarak dilangit yang tinggi, kilat dan petir begitu menakutkan, sebentar lagi hujan badai akan turun. Sementara ayah ibunya akan pulang dari sawah, namun Puti tidak menyadari dan lupa akan waktu karena asik bermain.

Akhirnya, ayah dan ibunya pulang dari sawah dengan tubuh yang lelah, pakaian yang kotor dan perut yang lapar. Serta tubuh yang basah kuyup kedinginan diterpa air hujan. Mereka berharap ketika pulang kerumah, nasi sudah dimasak, dan rumahpun bersih.

Namun alangkah terkejut ayah ibunya tatkala sampai dihalaman rumah dengan tubuh yang basah kuyup, mereka melihat kain yang terjemur sudah basah tersiram air hujan bahkan ada yang terjatuh dan kotor kembali, dan didalam rumah, bukannya kebersihan rumah yang didapati orangtuanya, melainkan rumah yang begitu kusut dan berantakan. Dengan hati yang masygul, ibunya memanggil Puti. “Puti… dimana kamu nak?” teriak ibunya. “Ada apa sih Bu? Teriak-teriak?” rungut Puti seraya menguap. “Kenapa tidak kau angkat jemuran kita? Dan rumah kenapa berantakan sekali?” ujar Ibunya seraya masuk kedapur, lalu beliau membuka periuk dan ternyata tidak ada nasi didalamnya. “Nah… nasi juga tidak ada? Kenapa kamu tidak memasak nasi? Ayah dan ibumu lapar setelah capek bekerja…!” Ibunya begitu kecewa dengan Puti.

“Kenapa Ibu banyak perintah hah…? Memangnya aku ini pembantu apa..?” teriak Puti memarahi ibunya dengan melotot.

“Puti… jangan jadi anak durhaka, ayah dan ibu sudah capek bekerja..!” pekik ayahnya.

“Aku adalah ratu dirumah ini… kalian adalah pembantuku..!” Puti marah-marah seraya melempar ibunya dengan mainannya. Ayah dan Ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala dengan hati yang sedih. Begitulah perangai Puti setiap hari, ia tidak menghargai ayah dan ibunya, bahkan melawan mereka.

Pada suatu hari, Puti dan ibunya berangkat ke sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Didekat sungai yang dijadikan penduduk untuk tempat mandi dan menyuci pakaian tersebut, ada sebuah batu besar yang terdapat di pinggir jalan. Ibunya tertatih-tatih membawa pakaian yang cukup banyak sementara Puti hanya berjalan gontai di depan. Ketika sampai didekat batu besar tersebut, ibu Puti terjatuh dan pakaian pun berserakan di jalanan. “Aduh… kakiku sakit Puti… tolong ibu…” ibunya mengaduh seraya memegang kakinya. “Ibu… lihat itu, pakaian kesayanganku berjatuhan. Cepat pungut…!” Puti begitu marah melihat pakaiannya berserakan dijalan. “Nak… kaki ibu sakit… cepat bantu ibu berdiri..!” rintih ibunya dengan air mata yang menetes. “Ahhh… ibu hanya pura-pura sakit, cepat angkat kainku…!!!” Puti menghardik Ibunya dengan menjambak rambut sang ibu. “Aduh… nak… jangan siksa ibu…!”Ibunya melolong kesakitan.

Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari batu besar tersebut “Anak durhaka… ibumu yang telah mengandung dan melahirkanmu, engkau siksa sedemikian rupa… aku akan menelanmu…” Puti dan ibunya menoleh kearah batu tersebut, tampak batu tersebut membuka mulutnya seperti mulut kuda Nil dan menghisap Puti kedalam mulutnya. “Ibu… tolong aku….”teriak Puti, namun tubuhnya telah masuk kedalam mulut batu dan batupun menutup mulutnya, hanya rambut panjangnya yang masih terjuntai diluar. Sang ibu menjerit memanggil anaknya “Anakku… Puti…. Anakku…to…long..!!” teriak ibunya seraya menarik-narik rambut anaknya, namun tiada jawaban. Orang-orangpun berlarian kesana dan menyaksikan rambut Puti yang masih bergelantungan. Lalu terdengar suara dari batu tersebut.

“Aku adalah batu tangkut… barang siapa yang durhaka kepada orangtuanya, aku akan menelan mereka sebagai hukuman karena tidak mengasihi ayah ibunya”

Sejak saat itu, batu tersebut dikenal dengan sebutan batu tangkut hingga saat ini. Dan sejak itu pula, orang-orang dalam dusun tersebut selalu memberi nasehat kepada anak-anaknya untuk selalu berbuat baik kepada orangtuanya, mengasihi mereka, dan menyayangi mereka.

Dan ketika malam jum’at orang-orang akan mendengar suara gadis kecil menangis dari dalam batu tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun