Syahdan pada zaman dahulu kala, dikerajaan Kerinci Hulu (Siulak-Pen), hiduplah seorang anak yang dalam kesehariaannya disebut Sipiatu. Ia tinggal disebuah gubuk reot dekat sawah penduduk.
Sipiatu sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Ayah dan ibunya telah lama meninggal dunia. Ia tidak punya siapa-siapa lagi, hidupnya sebatang kara tanpa teman. Dapat dibayangkan, anak yang berumur 12 tahun sudah tidak punya tempat mengadu keluh kesah, serta mencari nafkah dengan tangan mungilnya.
Kerja sehari-harinya adalah memasang “Lukah” yaitu sebuah alat dari bambu untuk menangkap belut disawah. Setiap sore hari ia bekerja memasang lukah belut dan dipagi harinya ia memanennya. Ia senantiasa tabah dan sabar dalam menghadapi hidup ini, setiap pagi ia mengumpulkan belut, lalu ditukar dengan beras atau garam dan gula kepada ibu-ibu di dusun Antau Jauh salah satu dusun di Kerinci Hulu pada waktu itu.
Selain memasang lukah belut, Sipiatu juga memasang jerat “Wak” yaitu sejenis burung yang hidup disawah. Lalu burung wak tersebut juga dijual oleh Piatu demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitulah hidup Sipiatu yang sudah tahu akan takdir hidupnya.
Ketika ia berumur delapan belas tahun, yang kebanyakan pemuda dan pemudi pada zaman itu telah banyak yang berumah tangga, namun Piatu sering dicaci maki oleh teman-temannya yang hidup dalam kekurangan, tiada seorang gadispun yang sudi mengasihinya.
Pada suatu hari, Sipiatu kelelahan mencari bambu dihutan, karena lukahnya sudah rusak, ia terpaksa harus menggantinya lagi. Setelah mendapatkan bambu yang cukup ia pulang kepondoknya untuk menganyam dan menyusun bambu tersebut.
Setelah selesai, ia berangkat menuju sawah sore itu untuk memasangnya. Setiap hulu air disawah dipasangnya dengan mengucapkan bismillah. Ia yakin, besok ia akan mendapat belut yang banyak.
Karena letihnya, malam hari ia tidur dengan nyenyak. Dan didalam mimpi ia menjumpai seorang gadis yang jelita, gadis tersebut berkata kepadanya, “Piatu… engkau akan jadi kaya..”. setelah itu, Piatu terjaga dari tidurnya pas adzan subuh. Lalu ia bangkit untuk shalat subuh dan langsung menuju sawah.
Pagi meremang, ufuk timur menyemburatkan sinaran fajar. Dengan harap-harap cemas ia mulai mengangkat lukahnya. Dari sepuluh lukah yang dipasang kedelapannya kosong melompong. Hatinya jadi kesal dan putus asa. “Hari yang cukup sial..!” katanya dalam hati. Namun ketika ia mengangkat lukah yang terakhir, didalam lukah tersebut ada sebuah Keong emas.. eh… bukan… tapi keong ini bewarna putih. Dengan kesal dibantingnya lukah tersebut seraya berteriak “Bangsat…! Bukan belut yang kudapat, tapi keong keparat…!!! Keong sialan..!, aku mau beluuut..!!! ” teriaknya.
Namun tiba-tiba, dari lukah tersebut keluar suara “Wahai Piatu..! janganlah engkau mengupat aku, bawalah aku pulang, Insya Allah engkau akan kaya..!” ujar suara dari dalam lukah tersebut.