ANAK LAKI-LAKI
Semenjak kecil anak laki-laki ini digambleng untuk bekerja disawah dan diladang. Sedari dini ia telah diajarkan untuk bekerja keras sehingga akan menjadi kebiasaan kelak dikemudian hari ia mampu menghidupi keluarganya.
Setelah beranjak remaja ia akan diajar untuk “nebeh” yaitu membabat hutan belantara untuk dijadikan ladang, semakin luas ia membuka lahan, maka semakin tinggi nilainya dimata keluarga dan masyarakat. Berarti sang anak ini bnar-benar mampu dan kuat untuk menghidupi keluarganya kelak.
Selain ilmu bertani, semenjak dini sang anak diajar di surau/langgar untuk menuntut ilmu agama, sehingga dikemudian hari ia mampu menggambleng keluarganya kejalan yang benar.
Anak laki-laki tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Ketika masuk usia sekolah, ia harus belajar mulai dari pukul 07.00 WIB pagi sampai dengan waktu zuhur sekitar pukul 13.00 WIB.
Kemudian sepulang sekolah berkisar antara pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB ia belajar mengaji atau bekerja disawah atau kebun nya. Dan setelah maghrib hingga pukul 22.00 WIB ia akan belajar mengaji, belajar ilmu kebathinan, atau belajar ilmu agama lainnya.
Anak laki-laki merupakan Hulubalang dalam negeri yang merupakan benteng pertahanan negerinya. Ia senantiasa mendengarkan pituah dan nasehat “mamak” / pamannya. Jika ada sesuatu hal yang melanggar larang pantangan di kampungnya maka ia akan menjadi benteng dan mengurus hal tersebut.
Hulubalang merupakan prajurit dalam satu kampung. Sedangkan didalam keluarga ia merupakan anak jantan bagian dari teganai yaitu Depati Panghulu, Ninik Mamak, dan Anak Jantan. Tiga unsur ini disebut dengan Teganai.
Anak laki-laki ini merupakan ujung tombak suatu negeri. Ketika ada kaum kerabatnya akan mengadakan pesta (barlek) ia dan sepupunya yang sama-sama laki-laki akan bergotong royong menjemput kayu bakar, mencari buah nangka untuk menggulai, dan lain sebagainya.
Ketika masa remaja anak jantan mulai untuk “batandeng” yaitu apel kerumah gadis-gadis baik didalam desa nya sendiri maupun desa lain. Adapun batas waktu batandeng ini ialah berkisar selepas shalat Isya hingga pukul 22.00 WIB, tentunya tetap menjaga larangan adat di suatu kampung, karena jika lewat dari waktu tersebut Hulubalang desa tersebut akan menangkap anak laki-laki tersebut dan akan diutangkan menurut sepanjang adat yang berlaku.
Ketika muda mudi telah saling mencintai, mereka boleh pergi bermain atas rekreasi, misalnya pada hari minggu pergi rekreasi ke tempat wisata, maupun berkawan masuk hutan, kerja disawah dan lain sebagainya. Tentunya tidak boleh berkhalwat atau berdua-duaan.
Setelah dapat kata mufakat, ibarat cinta sama cinta, suka sama suka dan sudah berkeinginnan untuk menikah, maka diadakanlah pertemuan ibu dan ayah, baru bertemu teganai dengan teganai dalam istilah Siulak disebut “Batuwik/batunang/Ngatak Tando/Cihi”.
Setelah menikah, sang anak laki-laki akan menjadi orang semenda (uhang simendo bahasa Siulak) dirumah keluarga isterinya. Ia merupakan anak batino didalam lingkup keluarga besar isterinya, maka terdapat larang pantang disini, ketika duduk musyawarah dalam keluarga ia tidak punya hak untuk menimpali atau menyanggah keputusan maupun hukum dari Teganai isterinya, namun ketika diminta baru boleh untuk menyanggah ataupun memberi saran.
Ia tidak boleh berbuat semena-mena, duduk tidak boleh sejajar dengan teganai isterinya, ia harus duduk dibagian hilir bersama orang semenda lainnya. Tetapi ketika ia merupakan seorang yang arif, adil bijaksana, cendikiawan, ia boleh memberi masukan dan arahan, tentunya tetap menggunakan tatakrama yang sopan dan tidak menggurui.
Namun ia punya hak yang sama dibagian pihak saudarinya yang perempuan, ia merupakan teganai dari pihak ibunya. Apalagi ketika sang mamak telah meninggal dunia baru ia boleh memakai sko yaitu pemimpin suku dari pihak saudarinya (dari ibunya). Ia masih memiliki tugas untuk mengajun mengarahkan anak buah anak kemenakannya sendiri. Apabila saudarinya menghadapi suatu masalah ia harus turun tangan untuk menyelesaikannya. Untuk tipe uhang simendo dapat di akses/dibaca pada link berikut Tipe Orang Simendo Di Kerinci
ANAK PEREMPUAN
Sebenarnya anak perempuan di Siulak-Kerinci pada zaman dahulu langkahnya cukup pendek. Pagi hari membantu ibunya urusan dapur, mencuci, menyapu rumah dan mengatur kebersihan rumah. Baru setelah urusannya selesai ia bersekolah hingga sampai waktu pulang. Diluar ia bermain paling di tepian mandi yaitu bagian sungai yang diperuntukkan tapian mandi khusus perempuan.
Sedangkan dirumah ia kembali membantu ibunya di dapur, mempersiapkan masakan untuk makan malam keluarga. Ketika gotong royong dalam hajatan keluarga anak perempuan akan ikut dengan anak laki-laki untuk mengambil daun pisang dan membawa “palalu kawo” yaitu snack/makanan ringan untuk saudaranya yang menjemput kayu bakar.
Dan dirumah keluarganya yang akan melaksanakan hajatan ia ikut bersama ibu-ibu untuk memasak, mengukur kelapa, menggiling cabai dan bumbu lainnya. Anak perempuan jarang keluar rumah yang tidak penting, kecuali perempuan yang tidak terurus atau nakal.
Ketika memasuki umur remaja, maka akan mulailah para bujangan untuk "batandeng" kerumahnya, mereka mulai bergaul dengan lawan jenis tentunya tidak terlepas dari pengamatan para muhrimnya. Sama dengan anak laki-laki, ketika sudah bertemu dengan jodohnya, maka akan dilaksanakan rentetan hukum adat dimulai dari batuwik, hingga ke jenjang perkawinan. baca Mengenal Budaya Tigo Luhah Tanah Sekudung Siulak
Semua ini berlaku ketika kemajuan zaman belum merasuki Bumi Sakti Alam Kerinci, tetapi kini dikarenakan zaman sudah modern, perihal tersebut telah mulai menipis, bahkan sudah banyak anak perempuan yang bermain hingga malam hari tanpa peduli hukum adat dan agama yang berlaku.
Ketika lahir, maka terbebanlah 5 kewajiban dipundak ayahnya sedangkan untuk anak perempuan ada 6 kewajiban yang harus di tunaikan:
1. Membawa turun mandi ke sungai
- Tatkala zaman dahulu di Siulak-Kerinci-Jambi, ketika seorang anak lahir kedunia ini, orangtuanya akan menjaganya dirumah tidak boleh dibawa keluar untuk digendong maupun bermain dengan keluarga lainnya karena ia belum dibawa turun mandi ke sungai. Biasanya waktu untuk membawa turun mandi kesungai yaitu minimal sang bayi telah berumur lebih kurang 1,5 bulan atau ketika ujung tali pusarnya telah lepas.
- Sedangkan untuk pertolongan melahirkan kala itu belum ada bidan atau dokter, maka yang menolong proses persalinan adalah “Dukun” atau “Baliyan tangan”.
- Adapun maksud dibawa turun mandi kesungai adalah untuk menandakan sang bayi telah tidak berbau kencur atau “anyie” (dalam bahasa siulak). Sewaktu pelaksanaan turun mandi kesungai, sang bayi akan diadakan upacara adat seperti mandi balimau di sungai yang diatur oleh baliyan.
- Ada beberapa hal adat dan budaya di Tanah Siulak tatkala seorang bayi sebelum berumur lima tahun, yaitu apabila sang bayi sering sakit, rewel, tidak mau menyusu pada ibunya, menangis dengan histeris, maka ada beberapa hal yang berlaku, yaitu :
- Palimo/Prah (mandi air limau) secara adat dan budaya disertai dengan bunga-bungaan.
- Ubat Kuheng ini khusus untuk anak yang pertumbuhannya tidak baik (stunting).
- Tawa-cuco untuk anak yang demam, rewel, dan lain sebagainya.
Maksud dan tujuan turun mandi kesungai secara tidak langsung adalah sebuah upacara peresmian ataupun pemberitahuan kepada seluruh isi bumi, bahwasanya sang anak telah boleh dibawa kemana-mana, maka makhluk gaib tidak boleh untuk sembarangan “manyapo” menegur sang anak, karena menurut keyakinan orang terdahulu, bila orang gaib menegur sang anak, maka sang anak akan sakit dan demam.
Setelah turun mandi kesungai, maka diadakanlah kenduri/ mendo’akan sang anak, sedangkan ibu-ibu dalam kampung tersebut mengadakan acara “nganta breh” yaitu memberikan keluarga tersebut beras sebanyak setengah kilogram dan membawa uang/hadiah lainnya yang dimasukkan kedalam piring, sedangkan setelah mengambil beras, keluarga akan memasukkan kedalam piring orang tersebut hadiah berupa gulai, kerupuk atau makanan ringan lainnya.
2. Pelaksanaan Akiqah
Akiqah merupakan kewajiban orangtua terhadap anaknya. Pelaksanaan akiqah ini mulai berlaku setelah Islam menjadi agama dan keyakinan orang Kerinci. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Biasanya di Siulak akiqah ini dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan turun mandi kesungai, dan sekaligus kambing tersebut menjadi menu dalam pelaksanaan pesta/baralek nya.
3. Tindik / Masang Pabung (khusus anak perempuan)
Tindik / masang pabung ialah menindik telinga anak perempuan untuk dipasangkan subang.
4. Sunat Rasul/Khitanan (bahasa kerinci basunek)
- Untuk anak perempuan, pelaksanaan khitanan ini ketika sang anak baru berumur tujuh hari, sedangkan untuk anak laki-laki biasanya khitan dilakukan saat sang anak berumur delapan tahun atau lebih. Proses khitanan ini zaman dahulu dilakukan oleh “Buya/Ustadz”, sedangkan setelah kemajuan zaman dilakukan oleh mantri kesehatan atau dokter.
- Khusus untuk anak laki-laki di Siulak setelah acara khitanan ini dilakukan “barlek” atau pesta dengan mengadakan do’a syukuran dirumahnya. Dan orang-orang yang datang terutama kerabat dekat keluarga memberikan hadiah kepada sang anak, baik berupa uang maupun mainan.
5. Melepas pendidikan
Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi umat muslim, maka orang tua merupakan sarana dan prasarana bagi seorang anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Segala biaya maupun kebutuhan sang anak wajib dipenuhi orang tuanya mulai dari ilmu umum di sekolah formal, maupun ilmu agama dan ilmu non formal lainnya.
6. Melepas ke Pernikahan
Setelah semua kewajiban lainnya terpenuhi, maka tugas akhir dari kedua orang tuanya ialah melepaskan sang anak ke jenjang pernikahan. Setelah menikah, maka kewajiban orangtua terhadapnya telah terpenuhi.
Kemajuan zaman membawa dampak yang positif dan negatif bagi seluruh komponen masyarakat. Disegi kemajuan segala aspek sudah mudah diraih, sedangkan disisi negatif nya dampak yang buruk terjadi juga karena kemajuan zaman, masyarakat kita tidak bisa memilah dan melimil mana yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi sehingga adat dan budaya kadang bercampur.
Rusaknya adat dan kebudayaan suatu daerah juga disebabkan para pemangku adat kurang tegas, kurang bijaksana, dan tidak kompenten dalam menghadapi kemajuan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H